Bagikan:

JAKARTA - Gangguan jiwa adalah penyakit yang sama tuanya dengan peradaban Nusantara. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) muncul dengan penyebab beragam. Salah satunya karena wabah, baik itu pes, flu Spanyol hingga tuberkulosis (TBC).

Narasi terkait ODGJ dalam sejarah Nusantara telah hadir dalam cerita kesohor Mahabharata dan Ramayana. Dalam kedua cerita itu ODGJ jadi bagian dari suatu karakter, seperti Srikandi Edan (gila) serta Gatotkaca Gandrung.

Ketika Gatotkaca Gandrung jatuh cinta perilakunya berubah menjadi kekanak-kanakan, lucu nan eksentrik. Gambaran itu memberikan informasi bahwa ODGJ jadi bagian masyarakat Nusantara selama berabad-abad lamanya.

Sekalipun ODGJ telah hadir sedari dulu, masalah penanganan ODGJ masyakat belum sebaik saat ini. Ketika mendapati sanak famili atau kolega yang mengalami gangguan jiwa, masyarakat awam cenderung memperlakukan mereka seakan-akan terpengaruh oleh roh jahat atau diguna-guna.

Bahkan ODGJ tak jarang dianggap sebagai medium perantara antara manusia dan dunia roh. Alhasil, jasa paranormal (dukun) digunakan untuk membebaskan ODGJ.

Dalam ritual pengusuran roh jahat, ODGJ biasanya mendapatkan siksaan fisik, baik dipukul hingga ditendang. Jika tindakan itu tak cukup, ODGJ akan segera dipasung.

“Penderita ‘dipasung’ diikat, atau dirantai, atau dimasukkan ke dalam kandang. Ini dilakukan bila penderita berbahaya bagi lingkungannya dan atau bagi dirinya sendiri. Praktik ini tersebar di seluruh Indonesia,”  ungkap Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis dalam buku Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2 (2009).

Salah satu rumah sakit jiwa di Hindia-Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

“Bila penderita tidak berbahaya, maka tidak jarang kita melihat orang dengan gangguan jiwa dengan pakaian minimal, bahkan ada yang telanjang bulat, berkeliaran di desa (kadang-kadang di kota juga) sambil mencari makanan di pinggir jalan atau di tempat sampah dan menjadi tontonan atau pun objek lelucon masyarakat yang tidak memahami keadaan penderita,” tambahnya.

Dipasung memang opsi terakhir. Tindakan itu diambil supaya ODGJ tak mengganggu lingkungan sekitar. Apalagi, beberapa catatan menyebutkan ODGJ sering kedapatan mengamuk kepada siapa saja yang berada di depannya.

Akan tetapi, opsi itu jadi bukti informasi pentingnya kesehatan jiwa belum begitu dikenal kaum bumiputra zaman dulu. Di tambah lagi, belum adanya sarana pengobatan, tenaga medis, ataupun psikiater.

“Kondisi itu terus berlangsung hingga akhirnya pada 21 Mei 1831. Pemerintah Hindia Belanda membuat sebuah resolusi yang dianggap cukup berpengaruh pada proses transformasi layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Dalam Resolusi 21 Mei 1831 No. 1 Pasal 1 disebutkan bahwa setiap rumah sakit besar di Weltevreden Jakarta, Semarang, dan Surabaya akan disediakan kamar untuk merawat penderita gangguan jiwa,” ujar Denny Thong, penulis biografi Bapak Psikiatri Indonesia Kusumanto Setyonegoro berjudul Memanusiakan Manusia, Menata Jiwa Membangun Bangsa (2011).

ODGJ berkembang karena wabah

Salah satu rumah sakit jiwa di Bogor (Sumber: Wikimedia Commons)

Pemerintah kolonial Belanda sempat menganggap fenomena ODGJ di Hindia-Belanda sebagai masalah serius. Namun, sederet upaya yang memutus mata rantai ODGJ tak maksimal.

Angka statistik ODGJ di Nusantara tetap meningkat. Peningkatan itu dipicu banyak hal. Salah satunya adalah kemunculan wabah penyakit. Sejak akhir abad ke-19, Nusantara sempat dihantam oleh berbagai macam wabah.

Sebut saja wabah pes, kolera, flu Spanyol, hingga TBC. Kehadiran wabah itu menjadi petaka. Lantaran saat wabah menyerang, kemiskinan meningkat, hingga muncul fenomena ODGJ.

Petaka itu semakin menampilkan bobroknya kepemimpinan kolonial Belanda, terutama dalam menyediakan fasilitas kesehatan jiwa yang memadai. “Penyakit jiwa juga melanda masyarakat miskin yang terkena wabah di seluruh Hindia. Pemerintah kolonial kewalahan. Fasilitas kejiwaan tidak lagi memadai."

"Seorang psikiater di Sekolah Indische Artsen Nederlands di Surabaya, Dr. Van der Schaar, menemukan dalam penyelidikannya sejak tahun 1930 bahwa di seluruh Jawa ada 1.377 orang sakit jiwa setiap tahun ditahan di penjara. Antara 250 dan 300 orang ditambahkan ke daftar ini setiap hari. Angka-angka ini hanya mencakup Jawa tetapi tidak termasuk daerah lain seperti Sumatera dan Sulawesi,” imbuh Maiza Elvira dalam buku Indonesia dan COVID-19: Pandangan Multi Aspek dan Sektoral (2020).

Sedang di Sumatra, Kepala Depertemen Kesehatan Masyarakat Hindia-Belanda, W. F. Theunissen menemukan fakta bahwa seiring munculnya wabah TBC, penyakit mental bermunculan. ODGJ di Sumatara berkembang pesat. Karena itu pemerintah kolonial Belanda yang berada di wilayah Sumatra kewalahan dan bingung menghadapi merebaknya ODGJ.

Salah satu rumah sakit jiwa di Bogor (Sumber: Wikimedia Commons)

Meski begitu, tak Cuma wabah saja yang menjadi faktor utama merebaknya ODGJ. Peperangan pun jadi salah satu muara munculnya banyak ODGJ. Ambil contoh dalam Perang Aceh (1873-1904), misalnya.

Seusai perang Aceh banyak warga lokal mengalami depresi psikis dan menjadi ODGJ. Fakta itu menyegarkan kembali ingatan bahwa perang tak hanya menarasikan menang-kalah.

Dampak dari perang itu sendiri dapat memakan banyak korban jiwa. Pun mereka yang masih hidup akan mengalami trauma yang mendalam hingga menjadi ODGJ. Semua itu berbekal ingatan kejamnya peperangan.

“Jelte Rep (Wartawan televisi Belanda) menulis bahwa akibat Perang Aceh banyak orang Aceh mengalami depresi psikis dan menjadi gila. Seorang dokter ilmu jiwa yang melakukan pemeriksaan berkesimpulan, dari 700.000 jiwa penduduk Aceh pada masa itu, 1.000 orang lebih gila berat."

"Pemerintah Hindia-Belanda mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang, yang merupakan rumah sakit terbesar di Indonesia. Waktu pecah Perang Dunia Il pada 1939, kira-kira terdapat 1.400 orang gila yang dirawat di rumah sakit itu,” tutup Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya