Bagikan:

JAKARTA - Hari ini dunia dihebohkan oleh bahaya virus corona yang berasal dari Wuhan, China. Betapa tidak, menurut data per hari Selasa, 28 Januari, pukul 20.48 WIB, 4.474 orang terinfeksi. 107 orang di antaranya meninggal dunia. Parahnya, sampai hari ini, obat serta vaksin penyembuh virus corona belum ditemukan.

Kondisi itu mirip seperti paniknya negara-negara dahulu dalam mengobati wabah variola atau yang biasa disebut penyakit cacar. Kala itu, cacar mewabah selama ribuan tahun. Cacar jadi penyakit yang sukar disembuhkan. Cacar bahkan dikaitkan dengan perkara magis. Diyakini sebagai wabah yang datang dari kutukan dan dibawa oleh roh halus.

Segala anggapan itu dibantah oleh temuan dokter berkebangsaan Inggris, Edward Jenner. Pada tahun 1796, ia menemukan vaksin cacar. Penemuan itu didasari pengamatan Jenner terhadap seorang pemerah susu bernama Sarah Nelms yang terserang cacar sapi dengan ciri bintil-bintil di tangan dan lengan.

Ia yang saat itu merawat Sarah tak tinggal diam. Kemudian, ia menguji teorinya sendiri dengan mengambil nanah cacar sapi di lengan Sarah dan memindahkannya (inokulasi) ke tubuh James Phipps, anak tukang kebunnya yang baru berumur delapan tahun. Setelah beberapa hari, anak itu pulih. Dua bulan kemudian Jenner kembali menginokulasi kedua lengan James dengan sampel cacar yang sama.

Dari situ, Jenner menyimpulkan bahwa cacar hanya dapat menyerang seseorang satu kali. James terbukti kebal terhadap cacar yang sempat menyerangnya. Saat itu lah laju pembuatan vaksin digalakkan. Hal menarik tentang wabah cacar di abad ke-14 adalah bagaimana tentara Tartar memanfaatkan wabah cacar sebagai senjata biologis dengan melempari musuhnya dengan mayat penderita cacar.

Cara Hindia Belanda hadapi cacar

Di tahun 1871, sebaran wabah cacar meluas. Ternate, Ambon, dan Bali jadi wilayah yang terdampak paling parah. Di Bali, misalnya, di mana 18 ribu orang dilaporkan meninggal akibat cacar. Catatan tersebut jadi modal penting bagi penanganan cacar kala itu, sebelum akhirnya Belanda membawa vaksin untuk disebar ke pelosok negeri.

Adanya vaksin jadi angin segar bagi pemerintah Hindia-Belanda zaman itu. Jean Gelman Taylor, dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia menjelaskan bagaimana imunisasi jadi perlawanan terhadap pengobatan kuno berbau mistik yang sebelumnya banyak dilakukan masyarakat lokal dalam memerangi penyakit cacar.

“Imunisasi terhadap cacar adalah perlawanan terhadap pengobatan Indonesia dan mestizo yang menggabungkan pengobatan dengan hal-hal yang berbau spiritual magis," ungkap Jean Gelman Taylor.

Sayangnya, penyebaran cacar terlampau cepat. Proses penyebaran vaksin dihadapkan pada persoalan waktu yang mendesak. Kondisi ini sempat direkam oleh Iksaka Banu dalam kumpulan cerpen yang tertuang dalam buku berjudul Teh dan Pengkhianat.

Dalam cerpen berjudul Variola, Iksaka Banu dengan lihai merangkai potret kejadian bersejarah penyebaran wabah cacar sebagai latar cerita. Ia mengungkap satu-satunya solusi untuk menangani wabah cacar kala itu adalah dengan pengiriman vaksin dari Belanda. Sayangnya, pengiriman memakan banyak waktu dan tak mampu menandingi cepatnya laju penyebaran wabah di Bali.

Akhirnya, vaksin pun diproduksi di Hindia Belanda, mulai dari Madiun, Kedu, serta Kediri. Sayang, langkah itu tak dapat dilakukan dengan cepat. Hingga rencana lain diambil, yaitu dengan menyuntikkan vaksin ke dalam tubuh anak yatim piatu di Batavia. Anak-anak itu kemudian dibawa ke Bali. Nantinya, vaksin yang telah disuntikkan akan dipanen untuk banyak orang.

Rencana itu tak berjalan lancar. Pihak panti asuhan telah membentengi diri dan menolak rencana tersebut. Mereka berujar: Sadarkah, bahwa di sini tuan sebenarnya sedang berusaha mencampuri urusan Tuhan?

Untuk itu, Pemerintah Hindia Belanda beranjak ke anak-anak pribumi dalam melaksanakan niatan tersebut. Sayangnya, di tengah jalan mereka menemukan kesukaran baru, yaitu terbatasnya ketersediaan dokter yang rata-rata terdiri dari orang Belanda dan banyak di antara mereka yang tak mau ke pelosok.

Berdirinya STOVIA

Oleh karena program vaksinasi cacar inilah, pada 1851 pemerintah bersiasat mendirikan sekolah kedokteran pertama di Hindia-Belanda, yaitu Dokter Djawa School yang kemudian menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

Sebuah sekolah Dokter Jawa yang bertujuan memberikan pengetahuan tentang vaksinasi cacar untuk para calo juru cacar pribumi, yang alasan didirikannya karena saat itu Belanda tak mau menangani secara langsung epidemik cacar di wilayah pribumi. Menariknya, seluruh biaya pendidikan, mulai dari penginapan selama masa studi dua tahun ditanggung pemerintah Hindia Belanda.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa. “Alasan utama dibukanya Sekolah Dokter Jawa ialah dibutuhkan tenaga untuk memberikan vaksinasi atau menjadi vactinateur cacar. Penyakit cacar masih jadi masalah besar yang bisa merenggut nyawa kala itu. Penyakitnya menular sampai ke desa-desa sementara tenaga medis belum memadai.”

Pada tahun pertama pembukaannya, hanya ada 12 siswa yang mendaftar. Di tahun berikutnya lah siswa bertambah sebanyak sebelas orang. Hingga lima tahun berjalan, sekolah yang menjadi cikal bakal dari Universitas Indonesia (UI) ini telah mencetak 23 dokter jawa yang bertugas sebagai mantri cacar.

Langkah itu didukung pula oleh kebijakan Belanda, seperti yang dilansir Historia.id, bahwa untuk memudahkan distribusi vaksin ke Hindia Belanda, pemerintah mendirikan perhimpunan produsen dan distributor vaksin cacar di tahun 1870. 

Setiap dua atau tiga bulan, vaksin cacar dikirim dari Amsterdam, Rotterdam, Utrech, dan Den Haag. Sejak saat itulah penyakit cacar tak seganas di masa sebelumnya. Efeknya, hingga hari ini penyakit cacar bukan lagi perkara yang menakutkan karena perkembangan teknologi dan sarana di bidang kesehatan sudah jauh berkembang.