Bagikan:

JAKARTA - Beberapa waktu belakangan ini, dunia sedang dihebohkan virus corona dari Wuhan, China. Hingga Selasa, 28 Januari, sudah ada 4.474 temuan kasus virus corona dengan korban meninggal 107 orang.

Tersebarnya wabah ini mengingatkan kembali, bukan pertama kali sebuah virus ditakutkan. Karena dahulu kala, ada virus yang mengancam umat manusia, yaitu wabah variola atau yang biasa disebut dengan cacar.

Kini, cacar menjadi hal yang biasa di zaman modern ini. Tapi, pada masa lalu, wabah ini ditakuti dan sempat dijadikan senjata untuk memukul mundur musuh.

Dilansir Historia.id, awal abad ke-14, tentara Tartar melempari musuhnya dengan mayat penderita cacar untuk melemahkan lawan. Praktik ini jadi salah satu contoh penggunaan cacar sebagai senjata biologis untuk melawan musuh.

Cacar di Nusantara

Cacar disinyalir pertama kali muncul sekitar tahun 10.000 SM, di sebuah wilayah pemukiman pertanian di daerah Mesir. Kemudian, dari situ penyakit tersebut dibawa oleh seorang saudagar Mesir ke India serta Persia. Hingga wabah ini menyebar ke seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia.

Kejadian yang membuat wabah cacar cepat tersebar, di antaranya saat perang salib di daratan Eropa, serta praktik perdaganyan budak yang kebanyakkan berasal dari Afrika, di mana cacar merupakan penyakit yang epidemik di sana.

Melalui cerita itu, diperkirakan cacar masuk wilayah Nusantara pada masa kerajaan Hindu–Buddha, saat lalu lintas perdagangan sedang ramai-ramainya. Kala itu, orang–orang di Nusantara menganggap penyakit cacar adalah kutukan, bahkan sering kali pula cacar dianggap disebarkan oleh roh halus.

Saking dianggap menakutkan, orang yang terjangkit cacar akan diusir dari desa. Hal itu terjadi di beberapa daerah di Nusantara, di antaranya Aceh, Bali, dan Sulawesi. Ini dilakukan karena masyarakat pada saat itu tak memiliki pengetahuan bahwa cacar merupakan penyakit. Mereka percaya cacar terjadi karena roh halus.

Pada 1644, cacar masuk ke Batavia. Saat itu, wabah tersebut meluas, tapi obat dan tenaga medis tidak mumpuni untuk melawan cacar. Pada abad ke-18, cacar mulai masuk ke Priangan, Bogor, Semarang, Banten dan Lampung.

Pada 1781, total 100 penduduk Jawa yang terserang cacar. Sekitar 20 di antaranya meninggal dunia, dan yang paling rentan adalah bayi. Pada akhir abad ke-18, tingkat kematian bayi karena cacar di Bogor dan Priangan mencapai 20 persen. Bahkan, pada 1820-an, seluruh bayi yang lahir di Yogyakarta 10 persen di antaranya meninggal karena cacar.

Kisah cacar di Nusantara sempat direkam oleh Iksaka Banu dalam kumpulan cerpen dalam buku berjudul Teh dan Penghianat. Dalam cerpennya yang berjudul Variona, Iksaka Banu merangkai kejadian penyebaran wabah cacar sebagai latar cerita.

Dia mencoba membuka kembali tabir sejarah bahwa wabah cacar (variola) sempat menjadi malaikat pencabut nyawa sejak abad 14, saat masa Hindia-Belanda. 

Saat itu, wilayah Ternate, Ambon, dan Bali menjadi daerah yang paling banyak kehilangan nyawa akibat cacar. Di Bali saja, angka kematiannya sampai 18.000 orang menjelang akhir tahun 1871.

Saat cacar mewabah ke banyak daerah di Nusantara, pemerintah kolonial tergerak untuk memberantas dengan cara pemberian vaksin teratur dan mendirikan Sekolah Dokter Djawa di Batavia pada 1851. Sekolah itu dikenal dengan STOVIA.

Sayangnya, karena kekurangan tenaga medis serta kekurangan dana, vaksinasi tak dilakukan secara merata. Sehingga cacar masih menjadi momok menakutkan di Nusantara hingga 1950-an.