JAKARTA - Ada singgungan tendensi serius ketika kata premanisme disebut. Ia tumbuh sebagai sifat yang cenderung menyebalkan, erat dengan kekerasan dan kesewenangan. Namun, di sisi lain, premanisme lahir dari ketertindasan itu sendiri. Mereka para preman biasanya adalah golongan masyarakat yang luput dari pemerataan kesejahteraan.
Di periode waktu tertentu --pada zaman Orde Baru (Orba)-- misalnya, para preman identik dengan gaya urakan. Tampangnya bengis, rambutnya gondrong, sekujur tubuhnya dihiasi tatto. Terdengar stereotip memang. Sial bagi tatto dan gondrong karena mereka seakan lahir dengan stigma buruk tersebut.
Buku Tjamboek Berdoeri, Memoar Kwee Thiam Tjing menjelaskan asal-usul kata preman yang berasal dari kata bahasa Belanda, yakni “vrije man” yang berarti orang bebas. Menariknya, tak ada sedikit pun konotasi buruk dari kata vrije man kala dilahirkan di zaman kolonial Hindia Belanda. Kata itu justru merujuk pada orang-orang yang bebas dari belenggu pegawai negara, tentara yang bebas dari negara jajahan, kuli nonkontrak atau tenaga lepas yang dibayar harian.
Sementara, tindak kekerasan serupa premanisme zaman sekarang sudah terjadi ratusan tahun lamanya. Hal ini dapat diketahui melalui data-data prasasti zaman lampau. Dikutip dari buku hasil Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-IV di Cipanas pada 3-9 Maret 1986, ahli epigraf, Boechari memaparkan dunia premanisme dan perbanditan dalam masyarakat Jawa Kuno seperti yang terjadi pada masa kerajaan Sriwijaya, Kediri, Singosari dan Majapahit.
Catatan prasasti
Hal ini di ketahui melalui kajian arkeologi berupa prasasti, lontar atau naskah kuno. Adapun penggambaran dalam beberapa relief candi, dapat dilihat di Candi Mendut, Candi Surawana dan Candi Rimbi. Pada masa Jawa Kuno, tindakan kriminal yang terjadi hukumannya tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada masyarakat di wilayah tempat tindakan kejahatan itu terjadi. Bentuknya bisa berupa denda dan pajak yang memberatkan. Oleh karena itu, masyarakat membuat semacam pos-pos penjagaan untuk meminimalisir tindak kejahatan yang akan berdampak bagi seluruh wilayah.
Seperti yang tertulis pada prasasti Baliwangan berangka tahun 891 Masehi. Prasasti ini memuat hukum penetapan tanah di desa Baliwangan menjadi Sima (Daerah Perdikan). Prasasti itu juga memuat informasi bagaimana rakyat di sana harus membayar pajak dan denda karena adanya rah kasawur --darah berceceran-- akibat tindakan kriminal dan wankay kabunan --mayat berembun-- yang ditemukan sebagai akibat kejadian kriminal di desa lain yang kemudian mayatnya dibuang di Desa Baliwangan. Walaupun hanya menjadi tempat kejadian perkara (TKP), Desa Baliwangan tetap dikenakan pajak dan denda.
Sementara, dalam prasasti Mantyasih bertahun 907 Masehi dikisahkan bagaimana rakyat Desa Mantyasih merasa ketakutan akibat ulah para penjahat dan mereka tak mampu mengatasinya. Akhirnya, wilayah Raja Rakai Watukura Dyah Balitung harus turun tangan mengerahkan pasukan dan lima patih untuk memberantas tindakan kriminal di Desa Mantyasih yang terletak di sekitar Gunung Sumbing, Jawa Tengah.
Dalam prasasti Kaladi tahun 909 Masehi, diceritakan permohonan Dapunta Suddara dan Dapunta Dampi kepada Raja Rakai Watukura Dyah Balitung agar wilayah mereka di sekitar Hutan Arapan dapat menjadi wilayah yang aman. Hal ini disebabkan karena mereka selalu mendapat serangan dari penjahat yang membuat pedagang dan nelayan di desa itu merasa ketakutan.
Kisah lain ditutur dalam prasasti Sangguran dari tahun 928 M yang ditemukan di Malang. Selain berisi kutukan bagi orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, prasasti ini juga berisi beberapa tindakan yang kerap terjadi di masa itu dan tergolong dalam tindakan kriminal pada zamannya, seperti wipati wankai kabunan (penemuan mayat), rah kasawur (pertumpahan darah), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi orang), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mampumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (berkelahi), tutan (mengejar lawan yang kalah), danda kudanda (pukul memukul), bhandihaladi (kejahatan menggunakan kekuatan magis).
Informasi selanjutnya juga tertuang dalam naskah kuno yakni naskah Purwadhigama, yang berasal dari masa Mataram Kuno, tepatnya saat pemerintahan Raja Dharmawangsa pada 991-1016 Masehi. Kitab ini disusun untuk mengatur ketertiban masyarakat di Kerajaan Mataram kuno. Dalam naskah ini tertulis sistem pengadilan zaman kuno yang membagi segala macam tindak pidana maupun perdata ke dalam 18 jenis kejahatan. Meski 18 hukum tersebut tidak banyak, tetapi garis besar dari hal yang dianggap penting pada kondisi saat itu sudah tertuang, seperti Tan kashuranin pihutan (tidak membayar hutang), tankawahanin putawawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak membagi hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (meminta kembali apa yang telah diberikan).
Hukum lain yang tercatat adalah tan kawehaninupahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatan transaksi jual beli), wiwandanin pinanwakenmwan manwan (sengketa antar pemilik ternak dan penggembala), kahacu panin watas (sengketa batas-batas tanah), dandanin saharasa wakparusya (hukum atas tindakan menghina dan memaki), pawrtinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), unlan tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap pasangan suami istri), kadumanin drwya (pembagian warisan), totohan pranidan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Gambaran tindakan kekerasan dan premanisme juga dapat dilihat di beberapa candi, yang memuat relief ssbagai informasi. Seperti yang tertera pada Candi Mendut di Jawa Tengah yang bercorak Buddhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-9 Masehi itu terdapat relief yang menggambrakan dua sosok, yang pertama memegang parang, sedangkan sosok kedua memegang prisai.
Begitu pula pada Candi Surawana di Kediri, candi peninggalan abad ke-14 Masehi ini pada bagian kaki candi terdapat relief yang menggambarkan adegan kekerasan dan perkelahian. Sementara pada Candi Rimbi di Jombang, berasal dari abad ke-13 Masehi, pada bagian kaki candi sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan. Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia kekerasan tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik saat itu.
Para raja-raja pada masa itu pula sudah membuat aturan-aturan dan nilai-nilai hidup agar hidup masyarakatnya harmonis berdasarkan kepercayaan atau agama yang mereka anut. Untuk mensosialisasikan aturan-aturan yang sudah dibuat, makan dilakukan pembuatan prasasti atau digambarkan dalam relief candi. Walaupun telah dibuat berbagi aturan dengan segala sanksi hukum yang begitu keras dan wilayah kekuasaan kerajaan yang terletak di desa-desa sudah berperan aktif dalam menjaga ketertiban sekitar lingkungan mereka, tetapi kadang masih saja terjadi tindakan kekerasan dan kriminal di zaman itu.
Zaman Kolonial
Memasuki masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pereman atau Vrijman, dipandang sebagai pembela kuli kontrak yang bekerja di perkebunan atau pabrik milik pemerintah Belanda yang disiksa mandor mereka. Dikutip dari Kompas, edisi 30 November 1986, sebagai tanda terima kasih atas jasa para preman ini, oleh masyarakat saat itu para preman digeratiskan untuk mengambil makanan dan minuman di warung mereka. Dari fenomena inilah istilah vrij man berubah menjadi preman yang merupakam akronim dari "pre minum pre makan", pre disingkat dari prei, yang berasal dari kata vrij.
Pada masa kemerdekaan, preman ikut serta dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan melakukan revolusi. Mereka tergabung ke dalam laskar-laskar pejuang. Pada era 1950'an istilah preman masih terkesan positif bahkan mendapat penghargaan dari pemerintah. Bahkan, sebagaimana dikutip dari tulisan Martin Sitompul dalam artikel di laman Historia, Wali Kota Medan, Haji Moeda Siregar --menjabat 1954-1958-- pernah memberikan penghargaan kepada preman.
Hal ini disebabkan pada saat itu preman dinilai berperan membantu masyarakat dan menjaga ketertiban. Preman mendamaikan konflik suku Aceh dan suku Batak. Preman juga membantu menindaklanjuti berbagai pengaduan masyarakat yang mengalami pencurian dan perampokan dengan cara para preman mencari pimpinan copet dan rampok sekitar temlat kejadian agar barang-barang orang yang mengadu tadi kembali.