JAKARTA - Sejak dulu, banyak sebuah pembentukan kata yang mulanya diserap dari bahasa asing, baik baku maupun tidak baku. kata-kata diotak-atik hingga ejaannya menyesuaikan penuturan masyarakat.
Kata serapan bisa dibentuk karena belum ada kosakata dalam Bahasa Indonesia atau ada latar belakang kejadian di balik kata tersebut. Salah satunya adalah sebuah umpatan di kalangan masyarakat Jawa Timur, yaitu "jancuk".
Mengacu pada kamus daring Universitas Gadjah Mada, kata "jancuk" bermakna sialan, keparat, brengsek, atau—dengan kata lain—merupakan ekspresi kekecewaan, umpatan, dan keheranan.
Sejarahnya, jancuk bukanlah serapan dari kata umpatan dalam bahasa asing, melainkan nama seorang seniman asal Belanda. Saat masa penjajahan Belanda di Indonesia, Jan Cox menjadi salah satu pelukis terkenal di negerinya.
Tapi, Jan Cox sama sekali tak pernah melakukan apapun di Indonesia. Datang ke Indonesia pun tidak pernah satu kali pun. Namun, kok bisa namanya menjadi kata serapan ungkapan warga Jawa Timur?
Jadi, pada zaman penjajahan, pasukan Belanda datang ke Surabaya untuk melucuti tentara Jepang dengan mengendari tank. Salah satu tank yang mereka memiliki bertuliskan “Jan Cox”.
Tank itu berjenis M3A3 Stuart buatan Amerika Serikat yang menjadi inventaris tentara Belanda. Menulis nama sesuatu atau seseorang di menjadi penamaan benda seperti tank atau pesawat oleh para tentara zaman Perang Dunia II menjadi hal yang lumrah.
Namanya juga alat utama sistem pertahanan asing, tank "Jan Cox" ini menjadi objek yang dibenci oleh tentara keamanan rakyat (TKR) Indoneisa maupun warga Jawa Timur. Jika tank ini mendekat, semua orang pasti menyerukan kewaspadaan, seperti "awas ada Jan Cox!".
Rasa kesal warga Jawa Timur atas penyerangan itulah yang menjadi alasan "jan Cox" diserap menjadi umpatan "jancuk".