Pencipta Kamus Bahasa Gaul Debby Sahertian Bicara Mengenai Pentingnya Alternatif dalam Berbahasa
Debby Sahertian (Instagram/@debbysahertian54)

Bagikan:

JAKARTA - Kata "anjay" tengah diperdebatkan. Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebut "anjay" sebagai bentuk perundungan yang berpotensi pidana bagi penggunanya. Debby Sahertian, aktris yang juga pencipta kamus "bahasa gaul" menanggapi polemik ini.

Ada pemahaman yang salah, kata Debby menanggapi respons Komnas PA soal kata "anjay". "Anjay, kalau dalam pergaulan alternatif, untuk ‘wow’ atau ‘keren’. Dalam bahasa gaul sama dengan 'cucok'," kata Debby, dihubungi VOI, Senin, 31 Agustus.

"Intonasi dalam mengucapkannya saja sudah mengesankan memuji. Jangan diterjemahkan secara harafiah. Jadi ribet," tambah dia.

Debby juga menyoroti bagaimana bahasa gaul yang ia sebut sebagai bagian dari bahasa alternatif. Secara literasi, bahasa alternatif dapat dikategorikan sebagai bahasa informal atau bahasa tak resmi.

"Apapun bentuknya, bahasa alternatif itu awal kemunculannya biasanya merupakan bahasa ‘rahasia’ di dalam satu komunitas," tutur dia.

"Apabila bahasa rahasia itu disukai oleh masyarakat sosial, akhirnya bisa diambil alih oleh kaum muda yang memanfatkan bahasa alternatif itu untuk ‘mencairkan suasana’ di dalam pergaulan. Biar tinta (tidak) kaku. Jadi luwes," tambah Debby.

Bahasa alternatif pun perlu

Bahasa alternatif sebagai cara suatu komunitas berinteraksi juga tergambar dari lahirnya kata umpatan legendaris: "jancuk". Sebagaimana pernah kami bahas dalam artikel "Menelusuri Asal Muasal Kata Jancuk". Dalam sejarah, "jancuk berasal dari nama seorang seniman Belanda, Jan Cox. Ia adalah pelukis masyhur di Negeri Kincir Angin.

Namun, Jan Cox sejatinya tak pernah terkait dengan peristiwa apapun di Indonesia. Ia bahkan tak sekalipun datang ke Nusantara. Lalu, bagaimana namanya menjadi asal-muasal salah satu umpatan paling populer di Indonesia?

Pada zaman penjajahan, pasukan Belanda datang ke Surabaya untuk melucuti tentara Jepang dengan mengendari tank. Salah satu tank yang mereka memiliki bertuliskan “Jan Cox”. Tank itu berjenis M3A3 Stuart buatan Amerika Serikat (AS) yang jadi inventaris tentara Belanda.

Menulis nama sesuatu atau seseorang sebagai penamaan benda seperti tank atau pesawat oleh para tentara zaman Perang Dunia II menjadi hal yang lumrah kala itu. Sebagai alat utama sistem pertahanan asing, tank "Jan Cox" jadi objek yang dibenci oleh tentara keamanan rakyat (TKR) Indonesia, khususnya warga di Jawa Timur.

Jika tank ini mendekat, semua orang pasti menyerukan kewaspadaan, seperti "awas ada Jan Cox!" Rasa kesal warga Jawa Timur atas penyerangan itulah yang menjadi alasan "Jan Cox" diserap menjadi umpatan "jancuk".

Penggunaan bahasa Indonesia jelas penting. Namun, bahasa alternatif juga perlu dilestarikan. Kata Debby, bahasa alternatif dapat jadi 'ramuan' penghangat suasana sosial. Dalam konteks sosial hari ini, hal itu jelas diperlukan.

"Fungsi lainnya, bahasa alternatif digunakan sebagai bahasa ‘lisan’ yang luwes dalam pergaulan atau bersosialisi," kata Debby.

Di luar kontroversi ungkapan "anjay" atau "jancuk" dan berbagai diksi lain, Debby mengungkap mengapa penting melestarikan bahasa alternatif? Ia mengatakan, "Waktu saya membuat kamus bahasa gaul, tujuan saya cuma satu, yaitu mendokumentasikan semua kosa kata yang beredar di masyarakat."

Hal lain yang jelas adalah bahasa merupakan hal yang terus berkembang. Dan menutup diri dari perkembangan bukan pilihan bijaksana. "Akan muncul tren-tren bahasa alternatif baru. Dengan adanya kamus bahasa gaul, minimal ada rekam jejaknya, bahwa pernah beredar bahasa alternatif gaul ini di masyarakat sosial kita," kata Debby.