Bagikan:

JAKARTA - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerbitkan larangan penggunaan kata "anjay". Bagi mereka, kata itu adalah umpatan yang melanggengkan perundungan. Komnas PA tak cuma keliru memaknai bahasa. Mereka juga tak paham apa akar masalah perundungan sebenarnya.

Ahli bahasa dari Universitas Negeri Jakarta, Krisanjaya mengkritik pemaknaan kata "anjay" oleh Komnas PA. Arist Merdeka Sirait Cs jelas keliru. Menurutnya, diperlukan pendalaman makna kontekstual untuk menentukan penggunaan kata "anjay", baik itu sebagai kekaguman atau sebagai umpatan, bahkan makian.

"Soal kata 'anjay' digolongkan sebagai kekerasan verbal, haruslah dilihat pada makna kontekstualnya," ucap Krisanjaya saat dihubungi VOI, Senin, 31 Agustus.

Kami tak akan terlalu panjang membahas persoalan ini. Tak perlu ada perdebatan sejatinya. Seperti dikatakan Krisanjaya, amat sulit memaknai kata "anjay" sebagai bentuk perundungan.

"Jika penggunaan kata tersebut digunakan sebagai penegas diri, maka tidak lah tergolong ke dalam kata dengan muatan kekerasan verbal. Misalnya dalam kalimat, 'Anjay, gue lupa bawa helm,'" kata Krisanjaya.

Perkara lain. Komnas PA nampaknya tak paham masalah dari perundungan anak di Indonesia sebenarnya. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan masalah perundungan anak tak sesederhana melarang penggunaan sebuah diksi. Begitu banyak persoalan yang juga harus jadi pekerjaan rumah bersama.

Pelarangan, bagaimana pun bukan cara terbaik untuk mengendalikan perilaku anak, apalagi dengan menyertakan ancaman pidana di dalamnya. Hal yang lebih tepat dilakukan adalah membangun karakter positif lewat pendidikan. 

"Nah, selain belajar, waktu mereka itu untuk bergurau. Bergurau berujung saling ejek, mem-bully. Itu yang kita harapkan cari solusi di tengah pandemi ini supaya (pembentukan) karakter itu dilakukan segera," kata Marwan kepada VOI, Senin, 31 Agustus.

Angka kasus dan pidana

Marwan benar. Masalah perundungan makin serius mengancam anak-anak di Indonesia. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan peningkatan konsisten kasus perundungan anak di Indonesia. Dalam sembilan tahun terakhir (2011-2019), tercatat 37.381 aduan yang masuk ke KPAI.

Dari jumlah tersebut, ada 2.473 kasus perundungan. Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak KPAI Jastra Putra mengatakan, masalah perundungan adalah fenomena gunung es. Kita bisa melihat dua ribuan anak jadi korban perundungan. Namun kita akan menemukan jumlah lebih besar jika "menengok ke dalam permukaan laut".

“Trennya terus meningkat. Data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es," kata Jastra, dikutip dari artikel RMOL, Senin, 31 Agustus.

Perundungan anak biasanya dilakukan berulang. Pemicunya amat banyak. Salah satu yang terbesar adalah represivitas.

“Umumnya bullying adalah perbuatan berulang-ulang yang dilakukan anak. Pemicunya sangat banyak karena kontrol sosial masyarakat yang berubah lebih agresif dan cepat, sangat mudah ditiru anak. Begitupun represif yang berulang-ulang," kata Jastra.

Jika pengalaman akan represivitas jadi penyebab terbesar dari perundungan, maka, tepatkah pelarangan dan ancaman pidana diterapkan untuk menghentikan perundungan?  Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menyebut seruan pemidanaan terhadap pengucap kata "anjay" tak tepat.

"Enggak sampai pidana lah saya kira. Cuma perlu pembinaan. Apalagi dalam kosakata 'anjay' itu enggak ditemukan dalam perbendaharaan kamus kita," kata Marwan.