Kunci Sukses Vaksinasi Cacar Zaman Belanda Ada di Tangan Mantri Kesehatan
Dokter Djawa (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Nusantara sempat defisit tenaga kesehatan tatkala wabah cacar melanda pada zaman Belanda. Kompeni cepat-cepat putar otak. Ide menggelar pelatihan kilat untuk mencetak mantri kesehatan bagi kaum bumiputra pun muncul. Kelak merekalah yang menjadi kunci sukses program pencegahan wabah dengan menjadi garda terdepan medis yang melakukan vaksinasi.

Menurut sejarah, penyakit cacar masuk wilayah Nusantara pada masa kerajaan Hindu–Buddha. Kala itu, cacar masuk ke lewat lalu lintas perdagangan yang sedang ramai-ramainya. 

Namun, cacar belum dianggap mematikan. Penduduk Nusantara justru meyakininya sebagai kutukan sekaligus menganggap variola (cacar) disebarkan oleh roh halus. Hoaks bermunculan.

Untuk mengetahui lebih lengkap, kami pernah mengulas bagaimana pertama kali wabah cacar di Nusantara dalam tulisan bertajuk  “Jauh Sebelum Virus Corona, Ada Wabah Cacar yang Ditakuti Umat Manusia.”

Kemudian, cacar menjadi penyakit yang merajalela ke berbagai daerah. Dikutip dari Baha’udin dalam jurnalnya "Dari Mantri Hingga Dokter Jawa" (2006), cacar baru terdeteksi sebagai penyakit sejak abad ke-17. 

Imbas dari penyakit cacar sendiri begitu besar. Pada 1781 diperkirakan dari 100 penduduk Jawa yang terserang cacar, 10 di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, pada awal abad ke-19, dari 1.019 bayi yang dilahirkan di Jawa, 102 di antaranya meninggal karena cacar.

Perlahan-lahan cacar mulai menyebar ke Aceh, Bali, Batavia, dan Sulawasi. Pemberantasan wabah ini pada awalnya belum begitu diseriusi oleh Belanda. Buktinya, enam periode pemberantasan cacar sejak Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Pieter Gerardus van Overstraten (1796-1801), hingga Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen (1819-1826) tak ada yang maksimal.

Padahal, pihak Belanda sudah memperkerjakan dokter untuk mengobat penyakit cacar. Namun, kaum bumiputra tampak menyangsikan usahanya. Imbasnya, banyak kaum bumiputra yang berobat ke dukun. Lantas mati. Disamping itu, keteledoran dokter Belanda yang sering kali memberi obat cacar tanpa memperhatikan tanggal kadaluwarsa jadi celaka lainnya.

Dokter Djawa (Sumber: Wikimedia Commons)

Mantri dan vaksin cacar

Upaya memerangi cacar secara serius baru muncul pada Oktober 1847. Hal itu diinisiasi langsung oleh Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer), Dr. William Bosch. Dokter tersebut mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Jan Jacob Rochussen (1845-1841), supaya mengadakan pendidikan kedokteran Barat untuk kaum bumiputra.

Untuk itulah Sekolah Dokter Djawa (STOVIA) didirikan di Weltevreden. Masa studinya dua tahun. Selepas lulus, siswanya akan mendapatkan gelar sebagai Dokter Djawa. Kendati demikan, mereka sebenarnya bukan dokter, melainkan pembatu dokter Eropa (hulo geneesher). Sebagian besar dari lulusannya diberikan tugas sebagai mantri cacar.

Mantri cacar inilah yang kemudian turun ke desa-desa membantu dokter Eropa untuk melakukan upaya preventif penyakit cacar, yaitu vaksinasi cacar. Atau yang lebih dikenal dengan istilah Pencacaran.

Vaksinasi cacar lalu menjadi usaha paling tua yang pernah dilakukan dalam mencegah suatu penyakit di Indonesia. Bahkan, sampai tahun 1900, taka da upaya lain dari pemerintah Belanda untuk pemeliharaan kesehatan selain mengobati cacar lewat vaksinasi.

Terlebih lagi, pemerintah kolonial telah memahami jika Dokter Djawa yang turun, maka alasan kultural dan kedekatan emosional inilah yang membuat kaum bumiputra mau ikut vaksinasi. Secara tidak langsung, proses ini kemudian menjadi transfer pengetahuan mengenai kesehatan kepada masyarakat, terutama yang tinggal di wilayah pedesaan. Oleh karena itu, model dan pola kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani penyakit cacar diterapkan untuk mengobati penyakit lainnya, seperti kolera dan malaria.

“Meskipun program vaksinasi wajib tidak terdapat di Hindia Belanda, Dinas Medis telah mencoba sebanyak mungkin melakükannya dengan cara cermat dan sistematik. Tiap kampung didatangi 7 tahun sekali oleh seorang ahli vaksin kompeten. Penduduk dikumpulkan dengan bantuan para pegawai sipil, kemudian divaksinasi secara massal (en masse), dalam rentang beberapa hari. Perjalanan khusus inspeksi yang sama dilakukan untuk vaksinasi bayi,” beber Dr. J. Stroomberg dalam buku Hindia Belanda 1930 (2018).

Cara itu terhitung efektif. Penyakit cacar yang dulu sering muncul dan memporak-porandakan banyak desa, kini sudah menjadi bagian dari masa lalu. Hal itu karena pada 1928 di Jawa dan Madura, kematian akibat penyakit cacar tak lebih dari 11 orang. Berbanding jauh dengan tahun 1871 yang dapat mencapai belasan ribu kematian, itupun di Bali saja.

Dokter Djawa (Sumber: Wikimedia Commons)

Upah tak seberapa

Meski kehadiran mantri cacar menjadi garda terdepan memutus mata rantai penyakit cacar, gaji mereka terhitung kecil. Dalam buku yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Indonesia berjudul Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978), menyebut ada perbedaan jauh antara gaji siswa STOVIA (Sekolah Dokter Djawa), dan OSVIA (Sekolah calon pangreh praja).

Perbedaan itu ditunjang pula oleh perbedaan latar belakang antara STOVIA dan OSVIA. Para siswa OSVIA biasanya berasal dari putra-putra golongan priyayi tingkat atas. Sedangkan pada siswa STOVIA kebanyakan berasal dari golongan priayi rendahan, seperti guru, inspektur polisi, bangsawan miskin, dan kepala desa.

"Oleh golongan priyayi tingkat atas para lulusan STOVIA dipandang sebagai ‘Mantri-Cacar’ dan termasuk golongan priyayi rendahan. Mereka hanya menerima gaji 70 gulden sebulan, yang berarti separoh dari gaji lulusan OSVIA," tertulis dalam buku tersebut.

Lebih miris lagi, bagi mantri yang harus melakukan perjalanan jarak jauh, tak ada perlakuan khusus bagi mereka. "Dan kalau bepergian dengan kereta api atas biaya negara mereka hanya dibenarkan menggunakan kelas III (bukan kelas II); dengan demikian mereka disamakan dengan kuli-kuli dan tahanan-tahanan,” tertulis.