Bagikan:

JAKARTA - Sekolah Dokter Djawa adalah biang perlawanan terhadap wabah. Lulusannya begitu istimewa. Mereka bergelar Dokter Djawa, kadang pula disebut mantri kesehatan. Para mantri itu jadi kunci sukses perlawanan terhadap wabah. Utamanya pes dan cacar. Berangkat dari situ, peran besar mereka kadang tak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Gaji yang mereka terima seadanya, jika tidak mau dibilang kecil. Lebih lagi, mereka sering mendapatkan diskriminasi di ruang publik.

Dalam perjalanannya, Sekolah Dokter Djawa didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1851. Kurangnya tenaga kesehatan yang mau berjuang melawan wabah ke pelosok desa jadi alasan pembentukannya. Perlahan-lahan, Sekolah Dokter Djawa bersalin nama jadi School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA). Kemudian hari orang-orang mengenal STOVIA sebagai “rahim” yang melahirkan aktor pergerakan nasional Indonesia.

Selain menghasilkan lulusan yang kritis, seperti Mas Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soetomo, STOVIA juga banyak melahirkan tenaga kesehatan yang andal. Peran Dokter Djawa membantu menahan laju penyebaran wabah telah diakui oleh pemerintah kolonial sendiri. Cara kerja mereka dianggap efektif, meski secara pamor mereka kalah jauh dari para dokter Eropa dan lulusan OSVIA --sekolah calon pegawai pemerintahan.

“Setelah menyelesaikan sekolah, para lulusan STOVIA, apalagi lulusan sekolah Dokter Djawa --STOVIA sebelum tahun 1900-- tak pernah bisa mendapatkan imbalan sosio-ekonomi seperti yang mereka harapkan. Hingga awal abad ke-20, posisi Dokter Djawa di pemerintahan dianggap sama dengan posisi mantri. Peran utama mereka sebagai vaksinator tidak menumbuhkan rasa hormat seperti halnya para lulusan OSVIA yang bekerja di pos-pos administrasi pribumi,” tulis Yudi Latif dalam buku Pendidikan yang Berkebudayaan (2020).

Dokter Djawa School (Sumber: Wikimedia Commons)

Kendati demikian, Dokter Djawa terus membuktikan diri. Alasan kultural dan kedekatan emosional jadi alasan kaum bumiputra hanya mau divaksinasi oleh mantri cacar. Karena itu, model dan pola kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani penyakit cacar diterapkan untuk mengobati penyakit lainnya, seperti kolera dan malaria. Lagi-lagi Dokter Djawa yang turun langsung.

Lebih lengkap terkait peran Dokter Djawa pernah kami ulas dalam artikel “Kunci Sukses Vaksinasi Cacar Zaman Belanda Ada di Tangan Mantri Kesehatan”.

“Meskipun program vaksinasi wajib tidak terdapat di Hindia Belanda, Dinas Medis telah mencoba sebanyak mungkin melakükannya dengan cara cermat dan sistematik. Tiap kampung didatangi 7 tahun sekali oleh seorang ahli vaksin kompeten. Penduduk dikumpulkan dengan bantuan para pegawai sipil, kemudian divaksinasi secara massal (en masse), dalam rentang beberapa hari. Perjalanan khusus inspeksi yang sama dilakukan untuk vaksinasi bayi,” beber Dr. J. Stroomberg dalam buku Hindia Belanda 1930 (2018).

Upah kecil dan diskriminasi

Di atas kertas, kehadiran lulusan Stovia melawan wabah cukup vital. Mereka yang berkerja di lapangan tak mendapat upah layak. Lebih lagi, mereka sering mendapat diskriminasi dari pihak Belanda. Sekalipun mereka mendapat pendidikan Barat, akan tetapi mereka tak boleh tampak seperti orang Barat, terutama dalam hal penampilan. Peraturan sekolah menentukan, kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda (lulusan STOVIA) dilarang mengenakan jas dan pantalon.

“Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh tampak seperti orang Barat. Mereka tak disebut ‘dokter’ penuh. Mereka hanya ‘dokter Hindia’ atau ‘Jawa’. Gaji mereka di dinas pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api kelas I. Sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih rendah boleh duduk di sana,” ungkap Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Blangkon (2009).

Siswa STOVIA dengan atribut campuran bumiputra-Eropa (Sumber: Wikimedia Commons)

Tak hanya Goenawan Mohammad. Buku yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Indonesia berjudul Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978), mengungkap hal yang sama. Dokter Djawa ketika berpergian dengan kereta api, walau dengan biaya negara, hanya diperbolehkan menggunakan kelas III. Dalam sistem kelas di kereta api Dokter Djawa sejajar dengan para kuli dan tahanan.

Kembali ke perihal gaji. Umumnya gaji Dokter Djawa berkisar antara 30 dan 50 gulden sebulan. Apabila ditempatkan di sebuah rumah sakit, mereka memeroleh tambahan sekitar 10 hingga 15 gulden untuk biaya perumahan. Di samping itu, mereka mendapat sebuah peti obat-obatan dan sejumlah alat untuk digunakan dalam praktik kedokteran.

Jurnalis senior, Rosihan Anwar bahkan mengisahkan kembali kesusahan seorang Dokter Djawa, Raden Soekardie. Dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009), Rosihan mengungkap bahwa peristiwa seorang Dokter Djawa dipindahtugaskan ke tempat lain, jadi puing kehancuran bagi mereka. Dengan gaji yang amat sedikit, sering kali sang dokter (Soekardie) membutuhkan perjalanan beberapa hari sebelum tiba di tempat baru.

"Ada masanya saya harus hidup dengan 7,5 gulden (rupiah) sebulan setelah dipindahkan," kata Dokter Raden Soekardie.

Adapun jumlah 7,5 gulden itu sisa dari gaji Soekardie yang berjumlah 90 gulden. Hal itu karena Soekardi telah mengambil persekot sebanyak satu bulan gaji. Ia harus dibayar kembali dalam empat kali bayaran atau 22,5 gulden sebulan. Ditambah lagi, tempatnya bekerja cukup jauh dari Ibu Kota Afdeling yang penduduknya tak banyak. Di sana, terdapat rumah sakit gubernemen untuk bumiputra yang harus dikunjungi dua kali sehari.

“Sewa rumah saya 30 gulden sebulan, mahal untuk ukuran gaji saya, tapi lantaran tidak ada yang lain terpaksa disewa. Untuk pengangkutan, waktu itu saya gunakan cikar-veer, kendaraan roda dua, semacam delman atau sado. Sewanya sebulan 30 gulden sebab kusir pemilik delman tidak mau kasih korting. Nah, hitunglah 22,5 gulden ditambah 30 gulden semuanya jadi 82,5 gulden. Tersisa 7,5 gulden,” tutup Raden Soekardie dikutip Rosihan Anwar.