JAKARTA - Dokter adalah profesi terbatas di zaman penjajahan Belanda. Apalagi bagi kaum bumiputra. Mereka yang mendapatkan akses Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra (STOVIA) terbatas kepada anak priayi. Itupun mereka kerap menerima segala macam diskriminasi dari kaum penjajah.
Kehidupan pun tak lantas lebih baik kala mereka mulai berkarier sebagai dokter. Utamanya yang ikut pergerakan. Praktek mereka dipersulit. Pun dokter bumiputra menerima gaji kecil dibanding dokter kulit putih (Belanda).
Ketersediaan tenaga kesehatan kerap jadi masalah serius di Hindia Belanda. Dokter-dokter yang bertugas terbatas kepada orang Belanda. Tiada kaum bumiputra. Namun, kehadiran wabah --cacar hingga pes— mengubah segalanya. Dokter Belanda tak mau terjun langsung ke desa-desa.
Pemerintah Belanda putar otak. Mereka mendirikan Sekolah Dokter Djawa, kemudian dikenal STOVIA di Batavia. Kaum bumiputra pun memiliki kesempatan kali pertama sebagai mahasiswa kedokteran. Sekalipun terbatas pada anak priayi.
Jauh panggang dari api. Mereka yang masuk tak hanya mendapatkan pendidikan kedokteran, tapi juga diskriminasi dari pihak Belanda. Calon dokter tak diperkenankan menggunakan busana Eropa. Mereka dipaksa menggunakan busana kedaerahan masing-masing, kecuali yang nasrani. Belakangan aturan itu direvisi.
Mereka juga dilarang melakukan perayaan agama dalam masa pendidikan. Demi menjamin peraturan diskriminasi ditegakkan, empunya kuasa melanggengkan hukuman bagi yang melanggar aturan. Perbedaan fasilitas bukan hanya muncul di kalangan sekolah. Diskriminasi muncul di luar sekolah. Ketika naik kereta api, misalnya.
Calon dokter bumiputra sama sekali tak diistimewakan. Mereka dilarang duduk di kelas satu. Padahal posisi mereka kala itu dibutuhkan. Pun satu-satunya keistimewaan yang mereka dapatkan dalam pendidikan boleh jadi cuma keberanian menggelorakan kemerdekaan Indonesia.
“Setelah menyelesaikan sekolah, para lulusan STOVIA, apalagi lulusan sekolah Dokter Djawa --STOVIA sebelum tahun 1900-- tak pernah bisa mendapatkan imbalan sosio-ekonomi seperti yang mereka harapkan. Hingga awal abad ke-20, posisi Dokter Djawa di pemerintahan dianggap sama dengan posisi mantri. Peran utama mereka sebagai vaksinator tidak menumbuhkan rasa hormat seperti halnya para lulusan Sekolah Pegawai Negeri (OSVIA) yang bekerja di pos-pos administrasi pribumi,” tulis Yudi Latif dalam buku Pendidikan yang Berkebudayaan (2020).
Gaji Kecil Pemantik Amarah
Alih-alih mencicipi kenyamanan, segenap dokter lulusan STOVIA justru harus bertarung dengan ganasnya kehidupan. Utamanya bagi mereka yang dikenal aktif dalam dunia politik. Kehidupan mereka sengaja dibiarkan merana oleh Belanda.
Belanda melanggengkan kuasanya dengan cara memberikan gaji kecil kepada dokter bumiputra. Gaji yang diterima terlampau ala kadarnya. Alias tak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari dokter. Belum lagi Belanda menggunakan kuasanya untuk menyulitkan berkembangnya praktek dokter bumiputra.
Mereka yang terlibat dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda segera dikucilkan. Para dokter yang ikut pergerakan dianggap sebuah reputasi buruk bagi segenap warga Hindia-Belanda. Orang-orang berpikir jika mereka berobat maka dianggap ikut berkolaborasi dengan pergerakan menentang Belanda.
Citra itulah yang membuat ‘Dokter Swasta Lokal’ dijauhi oleh pasien yang berada. Apalagi Belanda sendiri tak mau menulis rekomendasi untuk mereka untuk terlibat sebagai dokter pemerintah atau kerajaan.
Status itu membuat mereka terus berjuang meraih kesetaraan. Kaum bumiputra, termasuk pejuang kemerdekaan Bahder Djohan merasa masalah gaji bukan cuma perkara uang semata, tetapi sebagai masalah harga diri dan martabat kaum bumiputra. Mereka tak mau terus-terusan diperlakukan buruk oleh penjajah.
Lebarnya jurang diskriminasi yang diterima kaum bumiputra inilah yang semakin membangkitkan nyali kebangkitan nasional. Dokter-dokter yang terdidik itu memilih bergerak melepas belenggu penjajahan Belanda. perjuangan para dokter terbukti ampuh. Mereka dianggap pemantik semangat awal Indonesia merdeka.
“Di samping bekerja sebagai dokter di rumah sakit umum yang waktu itu terkenal dengan nama CBZ, Bahder Djohan juga aktif dalam organisasi kedokteran. Bahder Djohan dipilih menjadi sekretaris perkumpulan pada dokter yang bernama Vereeniging van Indonesische Geneeskundigen (VIG) dari tahun 1929-1939. Sebagai sekretaris perkumpulan para dokter, Bahder Diohan selalu memperjuangkan kepincangan peraturan gaji yang diadakan oleh pemerintah kolonial.”
“Seorang dokter pribumi hanya mendapat gaji 50% dari gaji dokter Belanda, walaupun keahlian dan diplomanya sama. Kepincangan ini tidak dapat diterima oleh Bahder Djohan, masalahnya bukan hanya menyangkut jumlah uang, tetapi persoalan martabat atau harga diri. Bahder Djohan merasa bahwa martabatnya sebagai pribadi maupun sebagai orang pribumi merasa direndahkan oleh pemerintah kolonial,” ungkap Mardanas Safwan dalam buku Prof. Dr. Bahder Djohan: Karya dan Pengabdiannya (1985).