Sejarah Penyamaran Polisi: Sering Dilakukan Kapolri Pertama, Jenderal R.S. Soekanto di Masa Penjajahan Belanda
Presiden Soekarno bersama Jenderal R.S. Soekanto (jas putih) dan Komisaris Besar Umar Said mengunjungi Pameran Pekan Kepolisian di Gedung Pertemuan Umum Jakarta pada 1951. (ANRI)

Bagikan:

JAKARTA - Kehidupan Jenderal Raden Said (R.S) Soekanto Tjokrodiatmodjo penuh dinamika. Awalnya ia aktif dalam pergerakan nasional menuntut Indonesia merdeka. Namun, suratan takdir berkata lain. Ia memilih perjuangannya sendiri dengan menjadi seorang polisi.

Tugas itu dilakukannya dengan baik. Kala bertugas di bagian reserse, misalnya. Ia pun doyan melakukan aksi penyamaran demi membongkar kejahatan. Dari penyamaran sebagai orang biasa hingga preman.

Soekanto (kemudian jadi Kapolri Pertama Indonesia) termasuk dalam kategori kaum bumiputra yang beruntung. ia adalah anak seorang priayi. Segala macam hak istimewa, termasuk akses pendidikan ia dapatkan dengan mudah. Apalagi orang tuanya mendukung penuh pendidikan Soekanto.

Sekolah terbaik kerap menjadi ‘rumah’ Soekanto menuntut ilmu. Puncaknya, ia mampu mengakses pendidikan di sekolah tinggi hukum, Rechtshoogeschool (RHS) Batavia. Kehidupannya sebagai mahasiswa hukum justru membuka cakrawalanya dalam berpikir. Ia mulai menganggap penjajahan, utamanya kolonialisme harus segera dilawan.

Kepala Djawatan Kepolisian Nasional (kini: Kapolri), R.S. Soekanto. (Wikimedia Commons)

Fakta itu membuat Soekanto turut aktif dalam dunia pergarakan nasional di Hindia Belanda. Segala daya upaya dilakukannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Ia tak pelit dalam berbagi ilmu. Ia kerap meluangkan waktu untuk mengajar kaum bumiputra lainnya yang tak dapat mengakses pendidikan.

Aktivitas itu dilanggengkannya selama jadi bagian dari Jong Java dan Kepanduan Bangsa Indonesia. Keaktifan itu membuatnya mengenal pejuang kemerdekaan lainnya. Iwa Kusumasoemantri, salah satunya.

Namun, petaka muncul. Ia mulai kesulitan keuangan ketika ayahnya pensiun jadi amtenar Hindia Belanda di Tangerang. Satu-satunya solusi adalah banting setir dari sekolah hukum dan menjadi polisi. Sebab, pendidikan polisi di Hindia Belanda dibiayai penuh oleh penjajah.

“Persoalan ini membuat Soekanto yang telah aktif bersama kaum pergerakan dan telah memilih jalur non koorporatif dalam aktivitasnya di Kepanduan Bangsa Indonesia galau. Soekanto memerlukan pengertian dari para seniornya yang aktif di pergerakan nasional – seperti Sartono yang dikenalnya sebagai senior di RHS dan Soesanto Tirtoprodjo yang dikenalnya secara dekat sejak aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia Bogor untuk konsultasi rencananya tersebut.”

“Dari pertimbangan kawan-kawan kaum pergerakan ini, Soekanto mantap terhadap pilihannya menjadi polisi. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa perjuangan dalam taktik koorporatif dengan pemerintah kolonial tidak berarti ia menghentikan perjuangannya yang selama ini telah merasuk dalam hidupnya. Selanjutnya, Soekanto menjadikan polisi sebagai jalan baru untuk berjuang dari dekat kalangan musuh,” ungkap Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan dalam buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (2016).

Doyan Menyamar

Soekanto masuk Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi pada 1930. Ia menempuh tiga tahun pendidikannya di sekolah polisi dengan baik. Ia pun lulus dan mendapatkan pangkat Commisaris van Politie 3 e Klass (Komisaris Polisi Kelas III).

Ia pun ditugaskan Semarang pada tahun yang sama. Tugasnya sebagai polisi macam-macam. Kadang kala ia ikut membidani bagian lalu lintas, Dinas intelejen Politieke Inlichtingen Dienst (PID), hingga reserse. Namun, ia justru nyaman bekerja di bidang reserse, sampai ia diangkat menjadi Kepala Polisi Seksi IV di Semarang.

Keaktifan Soekanto di bagian reserse membuatnya akrab dengan dunia penyamaran. Ia dapat menyamar sebagai apa saja. Dari orang biasa hingga preman. Penyamarannya kerap berhasil dalam mengungkap kasus. Utamanya, menangkap mata-mata Jerman dan Jepang ketika Perang Dunia II meletus pada 1939.

Perdana Menteri Mohammad Hatta memperkenalkan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru kepada Kepala Djawatan Kepolisian Nasional, R.S. Soekanto pada 1950. (ANRI)

Penyamaran juga acap kali dilakukan Soekanto untuk melakukan inspeksi dadakan. Ia ingin melihat sejauh mana kinerja bawahannya. Soekanto kerap menemukan bawahannya, termasuk polisi kulit putih (orang Belanda) kerja tidak becus dengan tidur saat jam kerja. Ajaibnya, banyak yang tak menyadari aksi penyamaran Soekanto.

“Selama bertugas di Semarang pelbagai bagian pernah didudukinya seperti di bagian lalu lintas, reserse dan PID, yang paling disenangi adalah tugas-tugas di bagian reserse. Sebagai lazimnya seorang reserse, Soekanto sering mengunjungi tempat-tempat yang dianggap rawan. Ia menyamar seperti orang biasa, menggunakan baju hitam, celana hitam, sarung pelekat, peci hitam, dan biasanya disertai oleh seorang komandan polisi.”

“Tempat yang paling sering dikunjuninya adalah Lapangan Johar. Penyamarannya sangat rapi, jangankan rakyat biasa, andai kata ia lewat di depan seorang polisi yang sedang bertugas, petugas tersebut kecil kemungkinan mengenalnya,” ujar Achmad Turan dan kawan-kawan dalam buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto: Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia (2000).