Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 31 tahun yang lalu, 12 Desember 1991, Henk Ngantung meninggal dunia. Mantan Gubernur DKI Jakarta (1964-1965) itu menderita penyakit jantung. Segenap rakyat Indonesia pun berduka. Masyarakat Jakarta, terutama.

Sebelumnya, Henk Ngantung dikenal sebagai salah satu seniman kiri. Namun, Orde Baru (Orba) mengubah kehidupannya. Ia hidup melarat dan ruang geraknya sebagai seniman dibatasi. Semua itu karena Orba menganggapnya loyalis Soekarno dan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Keinginan Soekarno mempercantik Jakarta tiada dua. Ia ingin menjadikan Jakarta bak mercusuar peradaban bangsa. Alias wajah kekuatan Indonesia. Keinginan itu buat Bung Karno kerap campur tangan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Ia tak mau Jakarta dipimpin sembarang orang. Bung Besar menginginkan sosok pemimpin Jakarta yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaan dan bidangnya. Apalagi memiliki darah seni. Soekarno pun ngebet menjadikan Hendrik Hermanus Joel Ngantung sebagai pemimpin Jakarta.

Henk Ngantung adalah seorang seniman lukis yang andal. (Wikimedia Commons)

Laku hidup pria yang akrab disapa Henk Ngantung dalam dunia seni tak perlu diragukan. Ia pernah tercatat sebagai Sekretaris Umum Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra). Sebuah lembaga kebudayaan berhaluan kiri yang disebut-sebut dekat dengan PKI.

Namun, Henk Ngantung tak langsung dipilih sebagai gubernur. Ia justru dipilih sebagai Wakil Gubernur mendampingi Soemarno Sosroatmodjo pada 1960. Jabatan itu membuat Henk Ngantung banyak mengetahui seluk-beluk problema Jakarta. Bekal itulah yang dibawa Henk Ngantung ketika diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Soemarno yang menjadi Menteri Dalam Negeri pada 1964.

“Henk Ngantung karena kekonsistenannya pada estetika kota, penertiban penghuni kota, kepedulian pada banjir serta tak henti-hentinya menyerukan mengenai penertiban sampah, Henk Ngantung digelari oleh warga kota Jakarta sebagai Gubernur Sampah. Penunjukan Henk Ngantung sebagai Gubernur salah satunya juga sudah membuktikan semasa menjabat Wakil Gubernur telah memenuhi harapan.”

“Khususnya harapan Bung Karno mewujudkan Jakarta yang berbudaya dan indah. Untuk menanggulangi masalah sampah tersebut, Henk menyerahkan pelaksanaannya pada Hoepoedio selaku Wakil Gubernur II, sedangkan ia sendiri mengembangkan pemikirannya bagaimana sampah dipecahkan dengan jalan yang lebih efektif serta menggunakan cara-cara baru yang lebih kreatif,” ungkap Obed Bima Wicandra dalam buku Henk Ngantung: Saya Bukan Gubernurnya PKI (2017).

Kuasa Henk Ngantung membenahi Jakarta berakhir pada 1965. Ia pun meneruskan laku hidupnya sebagai seniman. Namun, tak semuanya berjalan baik. Kehidupannya jadi nelangsa ketika terjadi Gerakan 30 September (G30S). Apalagi ketika Soeharto menggantikan Bung Karno sebagai Presiden Indonesia.

Henk Ngantung saat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. (Wikimedia Commons)

Henk Ngantung dianggap sebagai loyalis Bung Karno. Lebih lagi, Henk disebut-sebut dekat dengan PKI yang diduga dalang utama G30S. Kehidupannya dipersulit, sedang ruang geraknya dipersempit. Kala ia menggelar pameran di Ancol pada 8 Desember 1991, misalnya.

Pamerannya dibubarkan paksa Orba. Ia tak kuasa menahan kesedihannya. Akibatnya, penyakit jantung Henk Ngantung semakin parah. Beberapa hari kemudian, ia meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur, pada 12 Desember 1991.

“Pembukaan pun diadakan dengan pengawasan sejumlah intel Orba. Dalam sejarah, baru kali inilah para intel terlibat intens dalam ruang pameran. Namun kasus belum selesai. Baru berlangsung beberapa hari, pameran ini ditutup paksa oleh pemerintah. Alasannya tak jelas. Dalam kegelapan, Henk tentu sedih melihat kenyataan ini Beberapa hari setelah peristiwa itu, mungkin karena nelangsa, pada 12 Desember 1991 Henk Ngantung meninggal dunia,” ungkap Agus Dermawan T. dalam buku Karnaval Sahibulhikayat (2021).