Bagikan:

JAKARTA - Kisah cinta Prabowo Subianto dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) berjalan mulus. Kedua pihak orang tua, Soemitro Djodohadikoesoemo dan Soeharto merestui hubungan keduanya. Lamaran Prabowo diterima dengan baik.

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pun jadi tempat mengikat janji suci. Semua rencana berjalan lancar. Namun tidak dengan pengajuan saksi nikah dari pihak Soemitro. Soeharto tak menghendaki kehadiran sahabat Soemitro yang juga mantan Kapolri, Jenderal Hoegeng Imam Santoso.

Hubungan antara Prabowo Subianto dan Titiek sempat membuat Soemitro yang kala itu Menteri Perdagangan Indonesia kaget bukan main. Ia tak kuasa memprediksi aroma konflik kepentingan jika anaknya benar berjodoh dengan anak Soeharto.

Begawan ekonomi itu dikenal sebagai sosok yang enggan tunduk kepada Orba. Ia bahkan berani melemparkan kritik dan menolak titah Ibu Tien dan Orba dalam persoalan impor cengkeh. Namun, segala bentuk kekhawatiran coba dikurangi oleh Soemitro. Demi kebahagiaan anak, pikirnya.

Ia pun menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Prabowo Subianto dan Titiek. Soemitro akan mengikuti apapun keputusan keduanya. Nyatanya, Prabowo yang baru pulang dari latihan militernya di Jerman pun menunjukkan keseriusan. Ia ingin membawa hubungannya dengan Titiek ke jenjang serius. Sekalipun status Titiek belum lulus sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Prabowo Subianto beserta Titiek Soeharto dan putra mereka, Ragowo 'Didit' Hediprasetyo. (Instagram/@tututsoeharto)

Soemitro bergerak melamar Titiek untuk Prabowo Subianto. Ia dan keluarganya diterima baik oleh pihak Soeharto. Segala macam rencana pernikahan pun dibahas. Soeharto banyak mengamini masukan Soemitro, kecuali terkait permintaan saksi penikahan dan pemilihan tamu undangan.

Soeharto tak ingin ada nama Jenderal Hoegeng Imam Santoso sebagai saksi pernikahan. Hal itu berlaku juga kepada mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin yang sebelumnya berada dalam daftar tamu undangan.

Larangan itu disinyalir karena keduanya aktif terlibat memberikan kritik kepada Orba lewat kelompok Petisi 50. Sumitro pun sedih bukan main. Air mukanya tak karuan. Ia langsung mendatangi kedua sahabatnya itu untuk meminta maaf.  

“Setelah ke Hoegeng, Soemitro juga mendatangi Ali Sadikin ke rumahnya. Kepada Ali Sadikin ia minta maaf tak bisa mengundang mantan Menteri Perhubungan Laut dan Menteri Koordinator Maritim itu ke pesta Prabowo nanti. Ia mengatakan telah berusaha tetapi gagal juga. Seperti Hoegeng, Bang Ali pun mengatakan bisa maklumi.”

“Sebenarnya Hoegeng tidak terkejut mendengar dirinya ditampik Soeharto. la sudah membayangkan bahwa penolakan itu akan terjadi. Kalaupun ia kemudian terharu dan meneteskan air mata bukan karena ia kecewa, melainkan karena menghargai kesungguhan dan ketulusan hati sahabatnya tersebut. Sejak menandatangani Petisi 50 tahun 1980 Hoegeng dengan sendirinya telah menguakkan pintu pengucilan bagi dirinya,” ungkap Aris Santoso dan kawan-kawan dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).

Nikah di TMII

Hati Soemitro boleh sedih, tapi pernikahan anaknya kudu jalan. Apalagi Soeharto sendiri sudah jauh-jauh hari mengosongkan agenda kenegaraannya untuk menikahkan Titiek. TMII yang notabene proyek ambisius dari Orba dipilih jadi lokasi pernikahan mewah itu pada 8 Mei 1983. Tepatnya di Pendopo Sasono Agung Utomo dan Sasono Langen Budaya.

Segalanya dipersiapkan dengan baik. Dari panitia pernikahan hingga pawang hujan. Soeharto pun ikut turun tangan melihat sejauh mana kesiapan acara. Pernikahan dengan adat Jawa itu dimulai pada pukul 09:30 WIB. Prabowo Subianto dan Titiek tampak elegan dan anggun dengan balutan busana paes ageng.

Mereka yang menjadi saksi pernikahan tak kalah mentereng. Saksi dari pihak Soeharto adalah Wakil Presiden Indonesia, Umar Wirahadikusumah. Sedang dari pihak Soemitro adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan yang juga mantan Panglima ABRI, Jenderal M. Jusuf.

Presiden Soeharto beserta Ibu Tien dan Titiek Soeharto menjelang akad nikah dengan Prabowo Subianto. (Twitter)

Hajatan itu diberitakan oleh segenap media massa sebagai salah satu pernikahan akbar yang ada di tahun tersebut. Tamu undangan yang hadir tak sedikit. Presiden Soeharto menghendaki pernikahan anaknya dapat mendatangkan tamu hingga 3.000 orang.

“Demikianlah, di hari itu, Probosutedjo -- adik Presiden Soeharto -- menjadi juru bicara pihak pengantin wanita ketika menyambut penyerahan mempelai pria. Ia bertutur dalam bahasa Jawa kromo inggil, sama halnya dengan bahasa yang dipergunakan Soerono (Menko-Polkam) yang mewakili pihak pengantin pria. Pak Harto sendiri, tentu saja duduk sebagai ayah pengantin. Sudah sejak Kamis Presiden tidak mengadakan kegiatan kenegaraan.”

“Menjelang hari-H yang kian dekat itu, ayah mempelai wanita ini memberikan petunjuk final di lapangan. Bahkan sempat turun tangan ketika pemasangan tarub Kamis pagi di kediamannya, Jalan Cendana. Mengenakan surjan dan blangkon gaya Yogya, Pak Harto memanjat tangga untuk memasang tarub di bagian depan rumahnya. Siangnya ia memimpin upacara yang sama di tempat resepsi di Pendopo Agung Sasono Utomo, TMII,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Menikah dengan Putri Suharto (1983).