Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 37 tahun yang lalu, 8 Desember 1985, Pembangunan gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat resmi dimulai. Istri dari Presiden Soeharto, Siti Hartinah (Ibu Tien) ada di baliknya. Ia pun melakukan seremoni peletakan batu pertama.

Sebelumnya, Ibu Tien menganggap Perpustakaan Museum Nasional tak lagi dapat menampung koleksi dokumen yang kian bertambah. Sebagai gantinya, ia menggagas gedung Perpusnas nan megah yang mampu menampung banyak koleksi dari buku hingga arsip.

Kehadiran perpustakaan bukan barang baru sejak Jakarta. Ruang yang mampu menyimpan dan menampung koleksi bacaan itu sudah hadir di masa penjajahan Belanda, sejak Jakarta masih bernama Batavia. Sekalipun masih terbatas. Mereka yang mampu mendirikan perpustakaan hanya terbatas pada orang kaya dan gereja. Alhasil, mereka yang mampu mengakses perpustakaan tak banyak.

Namun, Kemunculan Jacob Cornelis Matthieu Radermacher mengubah segalanya. Orang Belanda itu memulai misinya memajukan ilmu pengetahuan di Batavia. Dari mendirikan perkumpulan ilmu pengetahuan, museum, hingga perpustakaan.

Ahli botani itu mendirikan perkumpulan ilmu pengetahuan, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen pada 24 April 1778. Sumbangsihnya tak tanggung-tanggung. Ia turut menghibahkan benda-benda kuno dan buku-buku sebanyak enam lemari untuk museum dan perpustakaan Bataviaasch Genootschap.

Gedung Perpustakaan Nasional yang berada di Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat. (Wikimedia Commons)

Buku-buku itu terdiri dari buku ilmu alam, hayat, hukum, dan lain sebagainya. Karenanya, Perpustakaan itu menjelma sebagai salah satu perpustaan terbesar di Batavia. Segala macam kalangan dapat mengakses perpustakaan itu, sama seperti museumnya.  

“Perpustakaan ini berbagi ruang dengan museum dan menempati ruangan yang sama dengan museum juga terdapat. Pada mulanya museum terletak di sebuah rumah di Kali Baru yang juga dihibahkan oleh Rademacher kepada Bataviaasch Genootschap itu.”

“Kemudian karena koleksinya bertambah dan ruangan dirasakan terlalu kecil, maka museum dipindahkan ke sebuah gedung di Jalan Harmoni No.3 yang terletak di dekat gedung Wisma Nusantara sekarang. Tetapi gedung tersebut sekarang sudah tidak ada lagi. Baru pada 1868 museum beserta perpustakaannya dipindahkan ke gedung yang sekarang ini, Jalan Merdeka Barat 12,” ungkap Wahyono Martowikrido dalam buku Cerita dari Gedung Arca (2006).

Perpustakaan Bataviaasch Genootschap terus bertahan. Bahkan, hingga Indonesia merdeka. Pemerintah Indonesia pun mengubah nama dari Museum Bataviaasch Genootschap menjadi Museum Nasional. Semenjak itu, Perpustakaan Museum Nasional jadi primadona.

Belakangan, daya tampung dari Perpustakaan Museum Nasional mulai penuh. Banyak dokumen-dokumen yang kurang terawat. Kondisi itu kemudian mengilhami Ibu Tien untuk membangun sebuah gedung perpustakaan megah di Salemba lewat Yayasan Harapan Kita. Perpusnas Salemba, namanya.

Gagasan pembangunan perpustakaan mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Dukungan Soeharto, terutama. Pembangunan gedung Perpusnas pun dilakukan pada 8 Desember 1985. Ibu Tien meresmikan pembangunannya dengan seremoni peletakan batu pertama.

Eks gedung Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Jl. Merdeka Barat, Jakarta Pusat yang sekarang difungsikan sebagai Museum Nasional. (Wikimedia Commons)

Gedung perpustakaan pun dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama selesai pada Desember 1986 dan tahap kedua selesai pada Oktober 1988. Kemudian, kehadiran Perpusnas jadi kebanggaan rakyat Indonesia, khususnya warga Jakarta. Nantinya, Perpusnas dipindah lagi ke gedung yang lebih besar di Medan Merdeka Selatan pada 2017. 

"Dokumen-dokumen itu antara lain harus tersimpan dengan baik dan teliti dalam Perpustakaan Nasional. Sekali dokumen itu rusak atau hilang, maka kita kehilangan sumber yang tidak ternilai harganya dan barangkali tidak pernah tergantikan untuk sèlama lamanya.”

“Sejak itu tergerak hati saya untuk membangun gedung Perpustakaan Nasional. Sebuah gedung yang memenuhi syarat dan mampu menampung kebutuhan ke masa depan yang jauh,” ungkap Ibu Tien Soeharto sebagaimana ditulis Mulyono Atmosiswartoputra dalam buku Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah (2018).