JAKARTA – Sejarah hari ini, 41 tahun yang lalu, 1 Maret 1982, Gedung Dewan Pers diresmikan oleh Presiden Soeharto. Ia mengegaskan kehadiran ‘Markas Besar Pers’ itu dapat menjadi awalan bahwa pers adalah obor peneranangan program pembangunan pemerintah.
Sebelumnya, Soeharto menganggap perkembangan pers di Indonesia telah di luar kendali. Alih-alih berbicara kemajuan bangsa, pers yang ada justru banyak membahayakan stabilitas nasional. Alhasil, Orde Baru (Orba) mencoba mengaturnya.
Andil dunia pers dalam melanggengkan eksistensi Soeharto di masa Orde Lama tiada dua. Kehadiran pers membuat nama besar Soeharto muncul ke permukaan. Ia dielu-elukan sebagai calon pemimpin baru yang membawa perubahan. Ia dekat dengan rakyat, dekat pula dengan mahasiswa.
Kedekatan itu berlangsung hingga fase awal pemerintahan Soeharto dan Orba. Namun, kemesraan itu harus berakhir. Orba yang dulunya dianggap harapan bagi kebebasan berpendapat mulai keluar sifat aslinya. Orba tak jauh beda dari Orde Lama. Utamanya, dalam memperlakukan pers dan kebebasan berpendapat.
Orba merasa terganggu dengan segala macam pemberitaan yang menginformasikan keburukan pemerintah. Empunya kuasa menganggap pemberitaan negatif akan mengganggu stabilitas nasional. Soeharto marasa pers sudah kebablasan.
Ia hanya menghendaki satu-satunya pemberitaan adalah citra positif pemerintah.Orba pun ikut campur. Empunya kuasa mulai melakukan kontrol media massa. Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pun diberi tugas untuk itu. Barang siapa yang membawa ‘warna’ negatif terkait pemerintah akan ditindak tegas dengan pemberedelan.
"Sampai menjelang akhir bulan Januari 1978, kebebasan pers telah berkembang hampir-hampir tanpa kendali. Kondisi ini mendekatkan bahaya terhadap kemantapan stabilitas nasional yang dinamis. Apabila hal itu sedikit lagi dibiarkan berkembang, maka nyaris membawa bahaya bagi keselamatan bangsa dan negara.”
“Sungguh tidak menyenangkan bagi pemerintah untuk melarang sementara penerbitan sejumlah media. Tetapi di sini kita tidak dihadapkan pada pilihan senang tidak senang, tetapi satu-satunya pilihan demi keselamatan bangsa dan negara, serta kepentingan untuk mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab," ungkap Soeharto sebagaimana dikutip St. Sularto dalam buku Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2011).
Upaya kontrol media massa itu terus berlanjut. Orba terus aktif ikut campur dalam seluruh hajatan milik dunia pers. Dari mengatur petinggi pers hingga isi berita. Bahkan, Soeharto dan Orba ikut mengatur pembina pers nasional, Dewan Pers. Fakta itu semakin terasa kala The Smiling General ikut hadir meresmikan Gedung Dewan Pers di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada 1 Maret 1982.
Acara itu dihadiri oleh pejabat tinggi pemerintahan dan insan media. Pun Soeharto memanfaatkan momentum untuk berpesan supaya pers sejatinya bergerak bersama pemerintah menjaga stabilitas nasional. Sebab, pers dianggap sebagai obor penerangan yang mampu menerangi agenda pembangunan pemerintah. Bukan sebaliknya.
“Pada peresmian yang berlangsung 1 Maret itu, ikut hadir Ibu Tien Soeharto, Wakil Presiden Adam Malik dan Ibu Nelly Adam Malik. Selain itu hadir juga tokoh-tokoh pers dan sudah tentu para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Importir Film Mandarin. Sebelum Presiden Soeharto meresmikan pemakaian Gedung Dewan Pers itu terlebih dahulu dilakukan serah terima dari Menteri Penerangan kepada B.M. Diah dalam kedudukannya sebagai Ketua Harian Dewan Pers.”
“Selesai peresmian yang berupa penandatanganan prasasti oleh Presiden, Ibu Tien Soeharto melakukan pengguntingan pita dan juga merupakan orang pertama yang membuka pintu gedung yang megah itu. Peninjauan dilakukan sampai ke lantai dua. Di lantai itu dilakukan peragaan beberapa peralatan yang yang juga sempat dicoba oleh Presiden Soeharto,” tertulis dalam laporan Majalah Pers Indonesia berjudul Sebuah Gedung Megah untuk Unsur Pers (1982).