Bagikan:

JAKARTA - Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara ramai diperbincangkan. Ketiadaan nama mantan Presiden Soeharto adalah biang masalahnya. Soeharto yang kala itu berpangkat Letnan Kolonel tak disebut sebagai aktor intektual Serangan Umum 1 Maret 1949. Pun banyak tokoh lainnya bernasib sama. Isu pun berkembang. Pemerintah dianggap ingin mereduksi peran Soeharto dalam sejarah bangsa. Benarkah empunya kuasa berniat menghilangkan Soeharto dalam peta sejarah?

Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan acap kali memancing kontroversi. Keluarnya Keppres Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, misalnya. Jokowi meneken Keppres itu pada 24 Februari 2022. Tujuannya mulia, demi meninjau ulang peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

Malang tak dapat ditolak. Maksud Jokowi justru ditangkap sebaliknya oleh segenap khalayak. Ia dianggap ingin mereduksi peran dari mantan Presiden Indonesia kedua yang menjabat 32 tahun. Alias Soeharto secara tersirat digambarkan tak memiliki peranan penting. Apalagi berjasa.

Anggapan itu makin kuat kala melirik isi Keppres pada bagian konsiderans huruf C. Di sana ditegaskan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia kemudian memerintahkan Panglima Besar Jendral Soedirman. Semuanya atas izin dan disetujui oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Poin lain yang dianggap memuat kerancuan sejarah adalah serangan itu mendapatkan dukungan dominan dari perangkat militer: Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), hingga laskar pejuang. Sedang nama Soeharto tak disebut sama-sekali. Demikian pula pejuang lainnya.

Keppres No. 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang dikeluarkan Presiden Jokowi dianggap menghilangkan peran mantan Presiden Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. (Foto: Biro Pers Setpres)

"Bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh TNI, Polri, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya.”

“Merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia," disebutkan dalam poin konsiderans C Keppres Nomor 2 Tahun 2022.

Polemik itu lalu memancing Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk angkat bicara. Mahfud mengungkap Keppres bukanlah suatu buku sejarah. Keppres takkan mampu menampung segala tokoh yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret. Karenanya, yang tercantum bagian penting saja. Kalau mau diulas panjang lebar terkait tokoh, maka Keppres bukan medium yang tepat.

“Keppres tersebut bukan buku sejarah tapi penetapan atas satu titik krusial sejarah. Keppres tersebut tidak menghilangkan nama Soeharto dan lain-lain dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Nama dan peran Soeharto disebutkan di Naskah Akademik Keppres yg sumbernya komprehensif,”tulis Mahfud M.D. dalam cuitannya di Twitter, Kamis, 3 Maret.

Keluarnya Keppres itu membuat sebagian rakyat Indonesia berang. Politikus dari Partai Gerindra, Fadli Zon, salah satunya. Poin konsiderans huruf C disinyalir sebuah upaya membelokkan sejarah. Ia pun menyerukan Keppres untuk segera diperbaiki. Keppres banyak memuat data sejarah yang salah. Peran yang direduksi tak melulu Soeharto, tapi juga peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), pimpinan Syafruddin Prawiranegara.

“Saya sudah baca Keppres No 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sebaiknya segera direvisi. Data sejarah banyak salah. Selain menghilangkan peran Letkol Soeharto sebagai Komandan lapangan, juga hilangkan peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Fatal. @jokowi, @mohmahfudmd,” katanya lewat Twitter @fadlizon, Jum’at, 4 Maret.

Keppres: Si Produk Kedua

Boleh jadi Keppres yang dikeluarkan memicu kontroversi. Tapi yang perlu diingat Keppres itu erat dengan muatan politik. Sejarawan muda alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universiteit Leiden, Belanda, Ody Dwicahyo menyebutkan sudah tugas pemerintah untuk mengemas bagian dari sejarah untuk produk akhir yang membuat tujuan upaya pembangunan bangsa.

Produk itu antara lain perayaan nasional, pahlawan nasional, atau naskah-naskah untuk mendukung pemberian bintang jasa pada seseorang. Ia pun memberi istilah Keppres sebagai luaran produk dari sebuah historiografi (penulisan sejarah). Atau dalam bahasa Ody disebut: produk kedua.

Karenanya, fungsi produk kedua tak lain untuk mengekstrak historiografi yang tertulis sebagai naskah akademik. Alhasil, ada elemen-elemen yang sudah pasti tidak bisa terangkut. Termasuk kasus Keppres yang dianggap mereduksi perang Soeharto dari Serangan Umum 1 Maret.

Sepanjang pengetahuannya, peran Soeharto tertulis dalam naskah akademik yang digodok Depertemen Sejarah Universitas Gadjah Mada. Tapi khalayak pun perlu tahu sejarah adalah sesuatu hal yang sangat subjektif. Elemen yang dipilih atau pun tidak, menjadi monopoli si pembuat produk kedua.

Mantan Presiden Soeharto jeas punya andil dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 meskipun bukan peran sentral. (Foto: Wikimedia Commons)

Kisruh ini menjadi bukti bahwa banyak pihak masih menggunakan kacamata lama melihat historiografi. Mereka melihat sebuah sejarah cenderung harus memiliki pahlawan. Padahal suatu kejadian acap kali melibatkan banyak pihak. Artinya ada upaya kolektif untuk membangun sebuah impian: Kemerdekaan Indonesia.

“Menurut hemat saya, keributan ini terjadi karena masyarakat belum memahami bahwa sebuah historiografi saja punya batasan, apalagi produk kedua yang disusun atasnya. Saya menyesalkan karena seperti namanya, keributan ini justru memperkuat pandangan-pandangan yang telah saya kritik: bahwa sejarah harus punya superhero, bahwa ada seseorang yang berperan paling besar dan sejenisnya.”

“Selain itu, tidak lain tidak bukan, kristalisasi atas pemikiran politik yang sudah lama kita idap menyeruak lagi. Alih-alih memprovokasi masyarakat untuk membaca lebih banyak, keributan ini justru menyeret mereka untuk mendahulukan argumentasi, betapapun tanpa isi,” terang Ody kepada VOI, Senin, 8 Maret.

Upaya Kolektif

Senada dengan Ody, sejarawan Sam Ardi lebih menyetujui narasi Serangan Umum 1 Maret adalah upaya kolektif dari para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebab, pada prinsipnya suatu serangan terhadap Belanda tidak mungkin terjadi jika hanya dilakukan seorang saja. Pun pasti melibatkan banyak pihak.

Bukan melulu peran seluruhnya jadi monopoli pihak militer, tapi rakyat sipil juga ikut berperang. Contohnya, Serangan Umum 1 Maret secara taktis dan operasional memang dieksekusi oleh tentara. Sedang untuk kebutuhan lainnya,menyiarkan kabar, memberi rute aman, menyuplai makanan, adalah sebesar-besarnya peran sipil.

Letkol Soeharto mendampingi Panglima Jenderal Soedirman saat memeriksa pasukan pada 10 Juli 1949. (Foto: Arsip Nasional)

Lagi pula, tidak mungkin seorang komandan lapangan tiba-tiba memainkan peran sebagai kurir berita. Lebih lagi, mereka sekaligus bertindak sebagai utusan yang menekan Belanda di PBB dan memberi ruang untuk perundingan.

“Misalnya perintah melaksanakan Serangan Umum dari Kolonel Bambang Soegeng selaku Panglima Divisi III/Gubernur Militer III yang termuat di dalam Instruksi Rahasia pada rentang waktu tanggal 25 Februari hingga 1 Maret. Posisi Letkol. Soeharto berada pada wilayah Wehrkreise III yang salah satunya meliputi Yogyakarta. Berdasarkan hal tersebut maka peranan Letkol. Soeharto sebagai eksekutor lapangan jelas sekali.”

“Juga Walikota Yogyakarta Sudarisman Purwokusumo, bersama Lettu Marsudi yang memberikan rute aman perjalanan para pejuang selama di Yogyakarta. Mayor Soekasno dan pasukannya dapat menghadang pasukan bantuan Belanda bernama Anjing NICA, dari Magelang pimpinan Kolonel Adrianus van Zanten. Estimasi bantuan pasukan Belanda datang di Yogya dalam dua jam tetapi dapat ditahan dan dimundurkan selama empat jam. Juga pihak-pihak seperti Code Officer (petugas sandi), kurir, lurah, dan camat,” tutup Sam Ardi saat dihubungi VOI, Senin, 8 Maret.

Jadi sudah jelas bahwa Soeharto punya peranan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Hanya saja, namanya tak perlu disebutkan dalam produk politik bernama Keppres Nomor 2 Tahun 2022 karena berdasarkan fakta sejarah Soeharto bukan pemegang komando tertinggi kala itu.