JAKARTA - Gerakan 30 September (G30S) adalah biang keladi kejatuhan Soekarno. Ia dianggap kerap membela kepentingan Partai Komunis Indonesia (PKI). Apalagi PKI dituduh dalang utama G30S. Kurang tegasnya Bung Karno dimanfaatkan Soeharto. Supersemar jadi ajiannya.
Bung Karno disingkirkan segera perlahan, bahkan jadi tahanan politik. Ruang gerak Bung Besar terbatas. Kalaupun keluar, Satu-satunya kesempatan Bung Karno cuma mendatangi pernikahan anak ketiganya, Rachmawati Soekarnoputri.
Gerakan G30S adalah tragedi yang sukar dilupakan dalam ingatan bangsa Indonesia. Pemberontrakan yang berwujud penculikan dan pembunuhan sederet jenderal TNI Angkatan Darat (AD) dianggap keji. Orang-orang pun berspekulasi jika PKI ada di baliknya.
Rakyat pun meminta Putra Sang Fajar mengambil tindakan tegas terkait PKI. Mereka meminta PKI segera dibubarkan dan petinggi-petingginya segera mundur dari jabatan pemerintahan. Jauh panggang dari api. Keinginan itu tak kunjung terwujud. Soekarno kerap berjanji, tapi tiada tindakan yang ambil.
Perlawanan rakyat dengan aksi demonstrasi menggelora. Demonstrasi itu berlangsung berjilid-jilid. Kepercayaan rakyat terhadap Soekarno dan Orde Lamanya jatuh dalam level terendah. Soeharto pun ditunjuk Bung Karno untuk mengaman situasi dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966.
Surat itu berisi mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang membawa ketertiban kembali. Nyatanya, Soeharto menjadikan Supersemar sebagai ajian untuk memukul mundur seluruh loyalis Bung Karno. Setelahnya, Soeharto diangkat jadi pejabat Presiden dan Bung Karno dijadikan sebagai tahanan rumah di Wisma Yasoo.
“Sehari setelah menerima Supersemar, dia –Soeharto-- membubarkan PKI serta semua organisasi massa komunis pendukungnya. Seminggu kemudian, ketika Soekarno sedang berusaha mempertahankan sejumlah menterinya yang oleh Soeharto dituduh pendukung gelap G30S, Soeharto segera menciduk mereka. Dengan memberikan Supersemar Soekarno tidak sadar telah menyerahkan nasib berikut masa depannya kepada Soeharto.”
“Memang tidak pernah ada isyarat bahwa dia secara sukarela ingin menyerahkan kekuasaan serta masa depan politiknya kepada Soeharto. Sayangnya, arus telah berbalik arah. Dengan kekuasaan politik Soekarno semakin bocor, dia bagaikan matahari sedang tenggelam. Bisa dipastikan, dan hanya tinggal menunggu detik-detik terakhirnya,” ungkap Julius Pour dalam buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010).
Hadiri Pernikahan Rachmawati
Kondisi Bung Karno sebagai tahanan rumah di Wisma Yaso tak baik-baik saja. Ia dilarang penuh oleh Soeharto berhubungan dengan dunia luar. Ia dijaga ketat. Mereka yang berstatus sebagai keluarga dan kerabat saja sulit menemuinya. Apalagi orang lain.
Kondisi itu berlarut-larut. Satu-satunya hiburan Soekarno adalah hanya berbicara dengan ajudannya. Ia tak kuasa menahan kesedihannya harus hidup di tengah kesepian. Namun, tak lama kemudian anak ketiganya, Rachmawati Soekarnoputri meminta restu untuk menikah dengan Martomo Priatman Marzuki (Tommy) pada 1969.
Bung Karno mengizinkannya dan seketika kebahagiaan mulai menghiasi wajah Sang Proklamator. Pernikahan itu dirayakan secara sederhana. Lagi pula lokasi pernikahannya hanya di kediaman ibunya, Fatmawati. Bung Karno ingin sekali hadir. Namun, apa daya, ia sedang menjadi tahanan politik.
Rachmawati tak kehabisan akal. Ia berkali-kali menyurati Soeharto supaya ayahnya dapat datang dan menjadi wali pernikahan anaknya. Usaha itu membuahkan hasil. Bung Karno diizinkan datang dalam kondisi penyakit ginjal.
Kehadiran Soekarno dengan pengawalan ketat disambut haru. Istrinya, Fatmawati dan segenap anak-anaknya akhirnya dapat berkumpul bersama. Bung Karno pun berjumpa dengan Bung Hatta. Keduanya turut haru.
Setelah acara, Soekarno pun kembali dibawa kembali ke Wisma Yaso. Ia bahagia bukan main, sekalipun harus kembali menyapa kesendirian sebagai tahanan politik Orde Baru.
“Atas izin dan kawalan yang ketat dari pasukan Soeharto, Bung Karno diizinkan untuk menghadiri resepsi pernikahan Rachmawati. Karena ginjal dan beberapa komplikasi penyakit yang lain, Soekarno pun muncul dengan wajah yang bengkak-bengkak. Tidak hanya itu saja, tubuh beliau juga terlihat rapuh dan lemah, sehingga harus dipapah. Pemandangan saat itu benar-benar membuat para hadirin menitikan air mata.”
“Sebuah pemandangan yang jauh dari profil Bung Karno yang gagah perkasa, yang berapi-api kalau berbicara, yang parlente jika berbusana. Antara sakit hati dan rasa rindu, antara murka dan juga cinta, Fatmawati pun menemui Bung Karno. Fatmawati segera memeluk Bung Karno. Air matanya meluap bagai samudra. Setelah menyeka air matanya, Fatmawati pun segera memeluk, mencium, dan memapahnya. Untuk itu, ia harus menerobos pengawalan yang super ketat,” ungkap Adimitra Nursalim dalam The Remarkable Story of Soekarno (2020).