Reuni Laskar Rakyat di Pegangsaan Timur 56 Ditutup oleh Presiden Soekarno dalam Sejarah Hari Ini, 14 Desember 1956
Laskar Hisboellah, salah satu elemen Laskar Rakyat yang dibentuk atas usulan K.H. Wahid Hasyim untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. (Dok. Nahdlatul Ulama)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini 14 Desember 1956, 66 tahun yang lalu, Soekarno menutup acara reuni akbar Laskar Rakyat. Reuni itu dilakukan di bekas rumah yang pernah jadi saksi bisu proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jalan Pegangsaan Timur 56. Reuni Laskar Rakyat dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat. Dari pejabat hingga militer.

Sebelumnya, Laskar Rakyat adalah wadah di mana rakyat Indonesia mempersenjatai diri untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kehadiran Laskar Rakyat pun banyak membantu militer Indonesia yang terbatas melawan Belanda.

Kembalinya Belanda dengan panji Pemerintah Sipil Hindia-Belanda (NICA) ke Indonesia memantik amarah kaum bumiputra. NICA ingin menguasai Indonesia untuk kali kedua. Ajian membonceng sekutu –Inggris-- dilakukan demi melanggengkan teror.

Alih-alih ketakutan, kaum bumiputra justru tak tinggal diam. Pemerintah pun tak ada pilihan lain selain melawan dengan pasukan militer dan perlengkapan perang seadanya. Mereka berjuang hingga titik darah penghabisan. Semuanya dilakukan supaya Indonesia dapat mempertahanan kemerdekaan.

Laskar Rakyat terdiri dari banyak elemen masyarakat bukan militer dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (ANRI/IPPHOS) 

Nyatanya, semangat pemerintah melawan penjajah menginspirasi seganap rakyat Indonesia. Mereka ingin ikut andil dalam upaya mempertahankan keamanan negara. Sebuah wadah yang dibentuk sedari zaman penjajahan Jepang dimanfaatkan. Laskar Rakyat, namanya.

Wadah itu jadi ajian segenap rakyat Indonesia bergabung dan mempersenjatai diri, sekalipun mereka bukan tentara pemerintah. Partisipasi Laskar Rakyat berkembang pesat. Laskar Rakyat tumbuh dari satu daerah ke daerah lainnya. Pemerintah Indonesia pun mengakui peranan besarnya.

“Ada badan-badan perjuangan yang didirikan oleh masyarakat yang terdorong untuk memperjuangkan tegaknya proklamasi kemerdekaan. Mereka ini disebut Laskar Rakyat, yang kebanyakan bergabung dengan partai politik tertentu. Mereka ini pada bulan September dan Oktober 1945 ikut beramai-ramai merebut senjata dari tangan Jepang.”

“Karena itu kekuatan mereka pun cukup besar dan harus diperhitungkan. Di antara Laskar itu terdapat: Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Hizbullah (Masyumi), Barisan Pelopor yang kemudian menjadi Barisan Banteng (PNI – Murba), BPRI dari Bung Tomo, serta Tentara RI Pelajar (TRIP),” ungkap G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Bagian I (1993).

Eksistensi Laskar Rakyat tak lantas hilang walau Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia secara paripurna pada 1949. Sebagai bukti, tujuh tahun setelahnya, Laskar Rakyat pun menggelar acara reuni akbar. Tujuannya supaya antara pemerintah, militer dan bekas Laskar Rakyat dapat bersinergi membangun Indonesia.

Aksi Laskar Rakyat yang ikut terjun melawan Belanda dalam perang revolusi. (ANRI/IPPHOS)

Reuni pun dilaksanakan selama dua hari pada 13-14 Desember 1956 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Menteng, Jakarta Pusat. Tercatat 300 orang hadir dalam reuni itu, termasuk pejuang kemerdekaan Iwa Kusumasoemantri dan Chairul Saleh. Acara reuni pun diisi oleh banyak pokok bahasan yang meliputi politik, ekonomi, dan sosial.

Acara reuni Laskar Rakyat mencapai puncaknya pada hari kedua. Apalagi Charul Saleh menjemput langsung Bung Karno dari Istana Merdeka menuju Pegangsaan timur 56 untuk menutup acara. Kehadiran Bung Karno disambut dengan gegap gempita. Pun di amanatnya, Bung Karno mengajak Laskar Rakyat bersama-sama menjaga ketertiban Indonesia.

“Para pejabat pun dihubungi untuk minta izin dan mohon kehadiran mereka. Charul Saleh menghadap Presiden Soekarno mohon doa restu dan mohon kehadirannya. Reuni yang diwujudkan dalam kongres itu diselenggarakan pada tanggal 13 sampai 14 Desember 1956.”

“Reuni itu bertempat di bekas rumah Bung Karno-Fatmawati, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, setelah mendapat izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ruang belakang untuk rapat pleno, sedangkan ruang induk untuk rapat komisi,” terang Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Chairul Saleh: Tokoh Kontroversial (1993).