Pengunduran Diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia Dikabulkan DPR dalam Sejarah Hari Ini, 30 November 1956
Soekarno dan Mohammad Hatta, dua pemimpin Indonesia yang memiliki keprbadian bertolak belakang. (ANRI)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 66 tahun yang lalu, 30 November 1956, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengabulkan permintaan pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia. Tiada yang tak terkejut mendengar keputusan DPR. Orang-orang di Minangkabau apalagi.

Sebelumnya, Soekarno dan Hatta kerap dianggap sosok pemimpin ideal. Keduanya disebut Dwitunggal. Namun, realita justru berkata lain. Kedua pemimpin yang bersahabat itu kerap berseberangan paham dari zaman penjajahan hingga Indonesia merdeka.

Figur Soekarno dan Hatta kerap dianggap sebagai sosok pemimpin ideal. Keduanya pun berhubungan baik. Namun, keduanya jarang berada dalam satu pemikiran. Bung Karno dan Bung Hatta sering berselisih paham. Kondisi itu bahkan telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda.

Bung Karno menyebut ia dan Bung Hatta adalah dua sosok yang berbeda. Hatta adalah seorang ahli ekonomi yang cara berpikirnya melulu seperti buku. Pun Hatta dianggap pemimpin yang tak kenal basa-basi. Sedang Bung Karno adalah kebalikannya.

Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Ir. Sukarno setelah pelantikannya di Kraton Sitihinggil, Yogyakarta. Tampak duduk dibelakang Moh.Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Anak Agung Gede Agung, Sri Paku Alam dan Sultan Hamid, 17 Desember 1949. (ANRI)

Bung Hatta pun tak luput mengkritik laku hidup Bung Karno. Ia menyebut Putra Sang Fajar sebagai figur yang impulsif. Pembawaan itu membuat Bung Karno selalu memancing perhatian Belanda. Akibatnya, kemerdekaan Indonesia kemungkinan akan lama diraih.

Boleh jadi kala itu satu-satunya kecocokan keduanya adalah keinginan untuk Indonesia merdeka. Selebihnya, Bung Karno dan hatta adalah dua orang sahabat yang berbeda pemikiran.

"Hatta berucap rakyat akan menertawakan Bung Karno kalau masuk penjara sekali lagi. Rakyat akan mengatakan: Itu salahnya sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka, sedang dia tahu bahwa Belanda akan menghentikannya. Dia itu gila. Jadi perjuangan untuk kemerdekaan masih akan memakan waktu bertahun‐tahun lagi. Rakyat harus dididik dulu kearah itu."

Mohammad Hatta saat melakukan kunjungan kerja ke Yogyakarta pada 1950. (Wikimedia Commons)

“Hatta tidak berkisar setapak pun dan dengan hati yang tawar aku meninggalkan pertemuan yang berlangsung selama beberapa jam itu. Perbedaan kami seperti siang dan malam, dan Hatta sama sekali tidak berubah pendiriannya. Masih aku mencoba untuk menghilangkan keretakan ini. Selama beberapa bulan aku mencoba,” Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966).

Perbedaan itu bukan berarti keduanya saling membenci satu sama lain. Buktinya, awal-awal kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta kerap saling melengkapi. Bung Karno memainkan caranya untuk membakar semangat rakyat. Sedang Hatta berjuang dengan caranya untuk mencerdaskan rakyat Indonesia.

Namun, masalah muncul ketika Soekarno mulai menggunakan alat kekuasaan untuk membungkam lawan politiknya. Apalagi Bung Karno mulai merapatkan diri dengan Dipa Nusantara Aidit dan Partai Komunis Indoensia (PKI) pada 1950-an.

Sederet masalah itu membuat Hatta mengambil sikap. Ia memilih untuk mengundurkan dari dari kursi Wakil Presiden Indonesia. Pengunduran diri itu baru diterima oleh DPR pada 30 November 1956.

Presiden Soekarno duduk di kursinya dan Wakil Presiden Mohammad Hatta didampingi AK. Pringgodigdo sedang memeriksa berkas pada sidang pertama Kabinet RIS di Pejambon 1950. (ANRI)

“Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri. Pada 20 Juli 1956, Hatta mengirim surat kepada DPR dan ditembuskan kepada Presiden Sukarno dan Dewan Menteri. Tetapi surat itu tidak diperhatikan oleh DPR. Akhirnya Hatta mengirim surat lagi pada 23 November 1956 dan memberitahukan bahwa terhitung pada 1 Desember 1956 ia akan mengundurkan diri.”

“Pada 30 November 1956 DPR bersidang dan menerima permintaan Hatta tersebut. Sejak saat itu Hatta hidup sebagai warga negara biasa. Kendati demikian bukanlah berarti dia tidak lagi terlibat dalam persoalan-persoalan bangsa. Bila ada hal-hal yang tidak sejalan dengan pikirannya ia tidak segan-segan memberi nasihat kepada pemerintah,” terang Anwar Abbas dalam buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam (2010).