Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 88 tahun yang lalu, 16 November 1934, Belanda memutuskan Mohammad Hatta diasingkan ke Boven Digoel, Papua. Bung Hatta tak sendiri. Ia juga ditemani oleh rekannya sesama pejuang kemerdekaan Sutan Sjahrir.

Sebelumnya, kepulangan Hatta dari Belanda buat pemerintah kolonial tak tenang. Hatta menjelma jadi sosok pemimpin yang menggaungkan narasi anti Belanda. Retorikanya menggelegar. Pun kedatangannya selalu ditunggu di mana-mana. Di Jawa atau Minangkabau.

Kepekaan Hatta terhadap kondisi Indonesia ditempa di Belanda. Ia tumbuh jadi seorang pejuang. Narasi anti kolonialisme kerap dibawanya dalam tiap agenda Perhimpunan Indonesia (PI). Perjuangannya pun bersambut. Banyak di antara kaum bumiputra dan orang Belanda yang mengaku tersentuh dengan perjuangan.

Namun, tidak dengan pemerintah Belanda. Ia sempat dianggap menggelorakan makar. Hatta dihukum penjara. Ia diadili, sekalipun akhirnya dibebaskan. Pledoinya Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) menggelar ke mana-mana.

Mohammad Hatta menyambut menteri dari Belanda, Johannes Hendrikus van Maarseveen ketika turun dari pesawat di Lapangan Terbang Kemayoran pada Januari 1950. (Dok. ANRI)

Pembelaannya yang berisi narasi kemerdekaan mampu membangkit semangat kaum bumiputra. Pembelaan itu menumbuhkan benih-benih perjuangan. Karenana, Kepulangan Hatta ditunggu-tunggu.

Hatta jadi mentor banyak pejuang kemerdekaan. Undangan demi undangan mendatangi Hatta. Ia diminta untuk mengisi ruang berpikir kaum bumiputra untuk menolak penjajahan di muka bumi. Penjajahan Belanda, terutama.

“Ia berusaha juga membangkitkan semangat pejuang pergerakan nasional di daerahnya, Minangkabau. Setelah kembali dari Belanda, ia berkeliling memberikan ceramah-ceramah, termasuk di Islamic Collage, sebuah perguruan menengah di Padang bagi anak-anak muda lulusan Thawalib Padang Panjang. Tetapi, hanya seminggu berada di daerah Minang, pemerintah memberlakukan baginya passenstelsel (peraturan yang melarang seseorang berada di daerah tertentu).”

“Ia malah dibawa polisi ke kapal KPM (Maskapai Pelayaran Belanda) di Teluk Bayur untuk diangkut ke Priok. Ketika itu ia benar-benar bagai pemimpin yang diharapkan. Beberapa kota di daerah kelahirannya ini sudah menanti kedatangannya. Di Jawa ia tentu berkeliling juga. Kemana pun pergi, ia mendapat sambutan hangat,” ungkap Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (2012).

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda tak senang dengan pergerakan yang dilakukan Hatta. Retorika Hatta dianggap kerap menyudutkan Belanda. Empunya kuasa pun segera turun tangan untuk meredam gejolak yang ada.

Patung Bung Hatta di Boven Digoel, Papua. (Istimewa)

Opsi satu-satunya adalah menangkap Hatta pada Februari 1934. Nasib Hatta pun baru diputuskan oleh Belanda pada 16 November 1934. Keputusan final Belanda adalah mengasingkan Bung Hatta ke Boven Digoel. Ia dianggap berbahaya bagi eksistensi Belanda di Nusantara.

“Pada 16 November 1934, keluarlah keputusan pengadilan untuk mengasingkan Hatta bersama enam orang pengurus PNI baru lainnya, ke Boven Digoel. la diberangkatkan melalui pelabuhan Tanjung Priok. Di dalam kapal dia diberangkatkan bersama-sama dengan Sjahrir, Bondan, Maskun, Murwoto, Burhanudin, dan Suka.”

“la diberangkatkan ke sana dengan cara estafet. Dari Tanjung Priok naik kapal Melchior Treub ke Surabaya dan Ujung Pandang. Dari Ujung Pandang dia naik kapal lain yang lebih kecil ke Ambon. Dari Ambon dia naik kapal yang lebih kecil lagi bernama Albatros ke Digul Irian Jaya,” terang Anwar Abbas dalam buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam (2010).