JAKARTA – Sejarah hari ini, 73 tahun yang lalu, 27 Desember 1949, Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat, Mohammad hatta menghadiri penyerahan kedaulatan Indonesia di Belanda. Penyerahan kedaulatan itu dilakukan di Paleis op de Dam (Istana Dam) dan disaksikan langsung oleh Ratu Juliana.
Sebelumnya, Bung Hatta dan pejuang kemerdekaan lain telah mati-matian membuat kaumnya terlepas dari belenggu penjajahan. Penjara dan pengasingan telah dirasakannya. Karenanya, Hatta menyebut dua momen yang paling berkesan dalam hidupnya: proklamasi dan penyerahan kedaulatan.
Karier politik Hatta kian menonjol ketika berkuliah di Belanda. Ia menjadikan Perhimpunan Indonesia (PI) sebagai kendaraan politiknya. Suatu kendaraan yang mampu membawa pesan kepada dunia bahwa kaum bumiputra ingin lepas dari belenggu penjajahan.
Ia pun semakin matang memandang kolonialisme dan imperialisme adalah suatu cermin dari bangsa serakah. Baginya, tiada kata lain selain melawan keserakahan tersebut. Tindak-tanduknya pun tercium Belanda. Ia sempat mendekam di penjara karena dianggap terlibat makar. Namun, kemudian dibebaskan.
Perjuangan Hatta pun berlanjut. Sekalipun pendidikannya di Negeri Belanda telah rampung. Ia kerap berbicara dari mimbar ke mimbar untuk menggaungkan narasi kemerdekaan di Nusantara. Lebih lagi, ia aktif menulis di media massa untuk membakar semangat kaum bumiputra.
Ia pun lagi-lagi dicurigai oleh Belanda. Hatta di penjara kemudian diasingkan ke Boven Digoel dan Banda. Nyatanya penjara dan pengasingan tak membuatnya jerah. Ia terus berjuang hingga akhirnya Indonesia merdeka. Peristiwa itu ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang diwakili Soekarno dan Hatta.
“Setelah Proklamasi dibacakan dan bendera nasional Sang Merah Putih dinaikkan sebagai tanda bangsa Indonesia sudah merdeka, bernegara, dan berdaulat, serta laguIndonesia Rayaa dinyanyikan, rakyat bersorak dan gembira. Kami duduk sebentar kira-kira setengah jam.”
“Sesudah itu aku pulang ke rumah. Di rumah sudah menunggu sanak saudaraku yang berpencar tinggalnya di Jakarta. Semua terharu dan memberi selamat Indonesia merdeka. Baru lima menit aku duduk dalam lingkungan keluarga, datanglah Ir. Surachman terharu dengan penuh emosi. Aku dipeluknya sambil menangis karena gembira,” ungkap Bung Hatta dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1978).
Perjuangan Hatta tak lantas berakhir. Keinginan Belanda menguasai Indonesia kali kedua membuatnya kembali berjuang. Di masa revolusi, Hatta terus menggulirkan agenda diplomasi. Dari Perundingan Linggarjati hingga Konferensi Meja Bundar.
Sederet perjanjian itu membuat Indonesia mampu menjaga kemerdekaan. Belanda akhirnya mau menyerahkan kedaulatan Indonesia secara paripurna. Penyerahan kedaulatan itu berlangsung di Istana Dam, Amsterdam, Belanda pada 27 Desember 1949. Pihak Indonesia sendiri diwakili oleh Bung Hatta. Sedang Belanda diwakili oleh Ratu Juliana.
“Hatta kelak berkata bahwa dalam kehidupannya ada dua saat puncak yang memuaskan hatinya. Pertama, sebagai proklamator kemerdekaan rakyat Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kedua, sebagai wakil bangsa Indonesia menandatangani dokumen pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda,” terang Rosihan Anwar dalam buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010).