Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 73 tahun yang lalu, 23 Agustus 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) digelar di Den Haag, Belanda.  Diplomasi ini dilakukan oleh Indonesia sebagai ajian mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari Belanda.

Delegasi Belanda dipimpin oleh Van Maarseven. Sedang Indonesia diwakili oleh Mohammad Hatta. Alhasil, Belanda mengakui Indonesia sebagai negara merdeka secara de facto dan de jure. Tidak semuanya puas. Bung Karno apalagi. Ia mengutuk sikap Belanda yang tak mau melepas Irian Barat.

Jalur diplomasi dianggap jalan paling masuk akal untuk mempertahankan kemerdekaan secara paripurna. Indonesia pun memilih opsi itu. sekalipun sempat dicemooh. Sultan Sjahrir ada di baliknya. Ia menggelorakan narasi diplomasi Karena melihat kekuatan Indonesia yang belum seberapa.

Alih-alih Indonesia kaya raya, armada militer dengan persenjataan modern saja tak punya. Kemungkinan menang dengan angkat senjata jadi mimpi di siang bolong. Artinya, opsi angkat senjata sama saja dengan tindakan menyerahkan Indonesia kepada Belanda.

Diplomasi pun dijadikan tulang punggung. Sederet perjanjian dilangsungkan dengan Belanda. Antara lain Perjanjian Lingarjati hingga Roem-Royen. Awalnya sederet perjanjian itu banyak merugikan Indonesia. Namun, belakangan Indoensia mulai membalikkan keadaan.

Mohammad Hatta (kanan) pemimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. (Wikimedia Commons)

Di perjanjian KMB, misalnya. Belanda akhirnya mau mengakui kedaulatan Indonesia. Semua itu berkat diplomasi ciamik yang dipimpin oleh Mohammad Hatta di Den Haag Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1948.  Namun, KMB harus dibayar mahal karena Irian Barat tak termasuk dalam wilayah Indonesia.

“Masalah Irian juga sulit dipecahkan. Menurut sejarawan Kahin banyak pegawai Belanda di Indonesia tidak tertarik pada Irian Jaya yang masih tertutup. Cukup keras juga suara umum di negeri Belanda yang tidak menghendaki Irian, termasuk di dalamnya para penguasa yang cukup besar jumlahnya. Untuk menyelenggarakan pemerintahan di Irian, Belanda mengeluarkan biaya 10 juta gulden tiap tahun.”

“Tetapi pemerintah Belanda berpendapat bila Irian Jaya tak ditahan, DPR Belanda tidak akan menerima persetujuan KMB. Karena itu menurut Kahin alasan menahan Irian bukan alasan ekonomis, seperti anggapan umum Indonesia, tetapi lebih bersifat sosial-psikologis,” ungkap G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Jilid 2 (1989).

Hasil yang diperoleh dari KMB tak lantas buat Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno puas. Irian Barat belum diserahkan oleh Belanda. Padahal, Bung Karno pernah berucap jika tanpa Irian Barat, Indonesia takkan lengkap.

Suasana Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus-2 November 1949. (Wikimedia Commons)

Bung Karno pun kemudian berjuang supaya Irian Barat jadi milik Indonesia. Berbagai diplomasi pun dilakukan. Namun, urung mendapat jawaban. Kala militer Indonesia mulai membaik, Soekarno memberanikan diri  untuk mengkonfrontasi Belanda dengan menggelorakan pembebasan Irian barat lewat Tri Komando Rakyat pada 19 Desember 1961.

“Sekarang saya tanya kepada saudara-saudara, kepada dunia internasional, mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai boneka Papua. Belanda menghasut rakyat Irian barat menjalankan satu politik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan Negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan Zoogenamde,” penggalan isi pidato Trikora Soekarno di Alun-Alun Yogyakarta, 19 Desember 1961.

Penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar di Deen Haag, Belanda menjadi catatan penting dalam sejarah hari ini, 23 Agustus 1949.