Sejarah Hari Ini, 13 Juli 1949: Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Berakhir
Presiden Soekarno dan Sjafruddin Prawiranegara (kedua dari kanan) di Yogyakarta pada 1949. (Wikimedia Commons/ANRI)

Bagikan:

JAKARTA – Salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah hari ini, 13 Juli 1949, di Indonesia adalah pembubaran Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara. Kekuasaan pemerintahan dikembalikan kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

PDRI merupakan penyelenggara Pemerintahan Republik Indonesia yang berpusat di Bukittinggi pada 22 Desember 1948. Pemerintahan sementara yang dikenal sebagai Kabinet Darurat ini dibentuk sebagai langkah antisipasi Agresi Belanda II yang menyebabkan kejatuhan Yogyakarta, yang merupakan ibu kota Indonesia saat itu.

Kejatuhan Yogyakarta ditandai dengan penangkapan Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948. Pihak Belanda berulang kali mendengungkan propaganda bahwa Republik Indonesia sudah bubar. Para pemimpin republik seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir dikatakan sudah menyerah dan ditahan.

Sjafruddin yang bersama Hatta sudah memikirkan pembentukan pemerintahan darurat, mengalihkan markas ke Bukittinggi pada November 1948. Indonesia sudah mempersiapkan dua kemungkinan pemerintahan darurat.

Selain di Bukittinggi di bawah pimpinan Sjafruddin, satu lagi di New Delhi, India di bawah kepemimpinan Alexander Andries Maramis. Akhirnya PDRI di Bukittinggi lah yang berjalan, meskipun saat itu belum ada perintah resmi dari Presiden Soekarno.

Rumah Sjafruddin Prawiranegara di Bidar Alam, Sumatra Barat yang digunakan sebagai markas utama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. (Wikimedia Commons)

Seperti dikutip dari buku Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity 1926-1998, pada 22 Desember 1948 PDRI diumumkan Sjafruddin. Dalam struktur PDRI, Sjafruddin menjadi Ketua sekaligus Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Sjafruddin tidak menyebut dirinya “presiden” namun “ketua”, karena memang belum menerima mandat dari Presiden Soekarno.

“Belanda menyerang pada Hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyeran pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semua, lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: liciknya, curangnya, dan kejamnya,” ujar Sjafruddin dalam pidatonya.

Sjafruddin juga menyerukan agar perjuangan bersenjata juga terus dilakukan.

“Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak menembak kalau belum ada perintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindari tipuan-tipuan musuh,” kata Sjafruddin dalam pidato tersebut.

Keberadaan PDRI di bawah pimpinan Sjafruddin menjadikan Indonesia memiliki kepemimpinan terpusat, yang mampu mengorganisasi perlawanan-perlawanan bersenjata dalam perang gerilya di Jawa dan Sumatra. PDRI juga berkomunikasi dengan diplomat-diplomat Indonesia yang bertugas di PBB di bawah pimpinan Mohammad Roem, untuk berdiplomasi demi mendapatkan dukungan yang lebih kuat dari dunia internasional.

Posisi Belanda Terdesak

Perlawanan bersenjata di berbagai pelosok Jawa dan Sumatra serta diplomasi tingkat internasional, membuat posisi Belanda terdesak. Agresi Belanda II dikecam masyarakat internasional. Pasukan Belanda pun tidak mampu sepenuhnya menguasai keadaan. Kondisi tersebut membuat Belanda akhirnya bersedia maju ke meja perundingan.

Perundingan yang dimulai di Jakarta pada 17 April-7 Mei 1949 akhirnya menghasilkan Perjanjian Roem-Roijen. Indonesia diwakili Mohammad Roem, sedangkan Belanda oleh Menlu Jan Herman van Roijen.

Perjanjian Roem-Roijen yang berjalan alot, pada intinya menghasilkan kesepakatan perdamaian dan gencatan senjata. Pihak Indonesia menghentikan perang gerilya, dan bersedia maju ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 23 Agustus-2 November 1949 untuk secepatnya menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada Negara Indonesia Serikat tanpa syarat.

Suasana perundingan yang menghasilkan Perjanjian Roem-Roijen di Jakarta pada 17 April-7 Mei 1949. (Wikimedia Commons/ANRI)

Sementara pihak Belanda juga harus menghentikan agresi militer dan membebaskan tahanan politik, mengembalikan Yogyakarta kepada Indonesia. Belanda juga diminta tidak mendirikan negara-negara pecahan di wilayah Negara Indonesia Serikat sebelum 19 Desember 1949, mendorong pelaksanaan KMB, serta mengakui Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.

Perjanjian Roem-Roijen diwujudkan dengan pembebasan Soekarno dan Hatta pada 6 Juli 1949. Mereka kembali ke Yogyakarta dari pengasingan di Bangka. Sjafruddin Prawiranegara kembali mengembalikan posisi Presiden Indonesia kepada Soekarno, dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI. Pembubaran Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menjadi catatan penting sejarah hari ini, 13 Juli 1949.