Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 73 tahun yang lalu, 6 Juli 1949, Yogyakarta dikuasai kembali oleh Pemerintah Indonesia. Kuasa itu karena pasukan Belanda telah meninggalkan Yogyakarta. Semua itu berkat keberhasilan Indonesia dalam perundingan Roem-Roijem. Narasi kuasa Indonesia di Yogyakarta semakin komplet dengan kepulangan para pemimpin bangsa dari pengasingan. Peristiwa itu dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, banyak menganggap Indonesia telah berhasil mempertahankan kemerdekaan.

Ambisi Belanda menjajah kembali Indonesia bukan main besarnya. Indonesia belum mampu menikmati kemerdekaan, Belanda sudah tancap gas mencoba menduduki Nusantara. Apalagi dengan kekuatan penuh. Empunya penjajah pun mendaratkan banyak pasukan militer di Indonesia. Tujuannya untuk memberikan teror kepada negara yang baru seumur jagung.

Belanda mengira teror yang diberikan mampu membuat pemerintah Indonesia segera menyerah. Nyatanya, jauh panggang dari api. Pejuang kemerdekaan justru memilih angkat senjata. Perlawanan dilakukan dari mana-mana. Semuanya pasang badan membela negara: Indonesia.

Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta bertemu Jenderal Soedirman di Yogyakarta. (Wikimedia Commons)

Perlawanan itu membuat Belanda mengumandangkan peperangan. Agresi militer jadi opsinya. Agresi Militer I digulirkan pada 21 Juli 1947-5 Agustus 1947. Agresi itu sempat membuat pejuang kemerdekaan kalang-kabut. Namun, Indonesia belum menyerah.

Belanda berang. Mereka melancarkan Agresi Militer Jilid II dari 19 Desember- 20 Desember 1948. Pemerintah Indonesia yang diketahui telah berkantor di Yogyakarta jadi incaran. Yogyakarta dibombardir habis-habisan oleh militer Belanda. Kondisi itu mampu membuat Belanda melanggang-langgeng menangkap pemimpin RI, termasuk Soekarno – Hatta.

“Pasukan Belanda yang dikirim ke Yogya pernah mendapatlan latihan KKO (Marinir) – Amerika Serikat (AS) di Virginia, jadi bukan sembarang tentara. Dalam memasuki Yogya mereka dibantu oleh KNIL, pasukan Belanda terdiri dari orang-orang bumiputra”.

“Tentara Belanda kemudian menawan Presiden dan Wakil Presiden, Sjahrir (penasihat presiden) sejumlah menteri termasuk Menlu Agus Salim. Tetapi sebelum mereka ditawan, presiden masih sempat mengirimkan radiogram berisi pemberian kekuaasaan negara kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara, yang sedang mengadakan perjalanan di Sumatra, untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI),” ungkap G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad ke-20 Jilid 2 (1988).

Penyerangan itu membuat mata dunia makin terbuka. Keberingasan Belanda memancing protes dari organisasi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Belanda pun diminta untuk segera mengakhiri agresinya.

Tentara Belanda bersedia di Semarang untuk diterjunkan di Yogyakarta dalam Agresi Militer II 1949. (Wikimedia Commons)

PBB pun menuntut supaya Belanda segera membebaskan pemimpin Indonesia yang diasingkan sebelumnya. Namun, Belanda tak mengindahkan perintah PBB. Serangan baru benar-benar berhenti ketika Perjanjian Roem-Roijen ditantangani 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.

Belanda lalu menarik mundur pasukannya. Setelahnya, Yogyakarta pun secara resmi dikuasai kembali oleh Indonesia pada 6 Juli 1949. Pun petinggi RI telah pulang dari pengasingan. Kepulangan itu menyiratkan makna sebuah keberhasilan Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

“Kami kembali menempati tempat tinggal kami semula. Pada waktu itu Bung Karno dan Bung Hatta akan tiba di Yogyakarta dari tempat pembuangannya di Bangka yang kedatangannya akan disambut oleh para menteri yang masih ada.”

“Setelah Bung Karno datang, Jenderal Sudirman kembali memasuki kota Yogyakarta dan kumpul di Gedung Negara. Beliau ditandu, dengan mengenakan pakaian hitam-hitam dalam keadaan lemah badan dan kumal disertai beberapa anak buahnya,” ungkap Fatmawati, Istri Soekarno dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).

Kembalinya Yogyakarta ke pangkuan Indonesia menjadi bagian penting sejarah hari ini 6 Juli 1949.