JAKARTA - Hari ini, 79 tahun yang lalu, 22 Agustus 1943, Soekarno dan Fatmawati menyelenggarakan pesta pernikahan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Menteng, Jakarta. Pesta itu digelar dua bulan setelah Bung Karno dan Fatmawati resmi menikah. Hajatan pernikahan mereka pun sederhana. Tiada tanda kemewahan.
Mereka yang datang hanya didominasi oleh keluarga dan kerabat. Semuanya bahagia. Apalagi kedua pasangan. Sebelumnya, benih-benih cinta keduanya bersemi saat Bung Karno diasingkan di Bengkulu.
Kehidupan Bung Karno semasa diasingkan penjajah Belanda penuh dinamika. Di pengasingan Bengkulu, terutama. Semangat hidup Bung Besar begitu meninggi. Ia kagum dengan pergerakan pemuda di Bengkulu. Demikiannya pula dengan kotanya.
Aktivitas Bung Karno pun bejibun. Di sela-sela ia mengajar sebagai guru, Bung Karno juga aktif menjadi pelatih bulu tangkis. Aktivitas itu digemari Bung Karno bukan main. Fatmawati –anak angkatnya—ikut bergabung pula. Tak disangka benih-benih cinta mulai merasuk kepada keduanya.
Bung Karno awalnya belum mau mengutarakan kekagumannya kepada Fatmawati. Namun, seiring bertambahnya usia Fatmawati tumbuh jadi insan yang memesona. Bung Karno kepincut. Fatmawati adalah orang yang mengagumkan. Ia teman diskusi yang menarik bagi Soekarno. Apalagi keinginan Bung Karno untuk dapat memiliki anak menggebu-gebu.
Permintaan memiliki anak pun satu-satunya keinginan Bung Karno yang tak dapat dikabulkan oleh Inggit Garnasih. Sebagaimana biasanya, Bung Karno langsung mengutarakan niatannya kepada Fatmawati. Pucuk dicinta ulam tiba. Fatmawati juga mengagumi Bung Karno.
“Ketahuilah Fat aku bingung untuk menjawab pertanyaan ibuku di Blitar, berulang kali beliau menyurati kapan ia diberi cucu laki-laki. Aku dalam pembuangan. Hanya kaulah seorang jadi penghiburku. Jika aku berada di Jakarta dapat aku berunding dengan Moh. Husni Thamrin atau Mr. Sartono dan lain-lainnya. Siapa yang akan memiliki buku-buku yang kamu lihat di kamarku itu?”
“Aku ingin satu anak laki-laki, satu saja, kalaupun lebih, syukur Alhamdulillah. Aku seorang pemimpin rakyat yang ingin memerdekakan bangsanya dari Belanda, tapi rasanya aku tak sanggup meneruskan jika kau tak menunggu dan mendampingi aku. Kamu cahaya hidupku untuk meneruskan perjuangan yang maha hebat dan dahsyat,” rayu Soekarno ditulis Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).
Soekarno mulai serius ingin meminang Fatmawati ketika ia resmi bercerai dengan Inggit Garnasih. Soekarno dan Fatmawati melangsungkan pernikahan. Akan tetapi, posisi Soekarno yang sibuk berjuang di Jakarta membuatnya tak bisa datang ke Bengkulu. Ia menikahi Fatawati dengan cara diwakili pada Juni 1943.
Dua bulan setelahnya, pernikahan itu dirayakan dengan pesta sederhana pada 22 Agustus 1943. Semuanya karena Fatmawati segera memboyong keluarganya ke Jakarta. Pesta sederhana itu dihadiri hanya oleh keluarga kedua belah pihak dan kerabat dekat.
“Bulan Juni 1943 Fatma dan aku kawin secara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnya beserta orangtuanya ke Jawa urusannya terlalu berbelit‐belit dan panjang, pun aku tidak bisa segera menjemputnya ke Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanya menunggu lebih lama lagi. Mendadak timbul keinginanku yang keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki‐laki.”
“Aku mempunyai lebih dari pada sesuatu itu. Aku mempunyai seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan yang akrab dan memintanya untuk mewakiliku. la memperlihatkan telegram itu kepada orang tua Fatma dan usul ini mendapat persetujuan. Pengantin dan wakilku pergi menghadap kadi dan sekalipun dia masih di Bengkulu dan aku di Jakarta, dengan demikian kami sudah mengikat tali perkawinan,” tutup Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).
Fatmawati adalah istri ketiga Soekarno, yang sebelumnya pernah menikah dengan Siti Oetari dan Inggit Garnasih. Kedua pernikahan Soekarno tersebut berakhir dengan perceraian.