Soekarno, Hatta, dan Ki Bagus Hadikoesoemo Keliling Tokyo dalam Sejarah Hari Ini, 14 November 1943
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagus Hadikkoesoemo saat berkunjung ke Jepang dan diterima Kaisar Hirohito. (Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 79 tahun yang lalu, 14 November 1943, Penjajah Jepang mengajak pemimpin kaum bumiputra jalan-jalan mengelilingi Tokyo. Pemimpin kaum bumiputra itu diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagus Hadikoesoemo.

Mereka dianggap tamu resmi kenegeraan. Jepang mengakui benar eksistensi Soekarno dan Ki Bagus Hadikoesoemo sebagai pemimpin kaum bumiputra. Sedang Hatta datang ke Jepang dengan misi tersendiri. Ia mempelajari nilai-nilai Jepang. Nippon Sheishin, namanya.

Kehadiran Jepang membawa pengaruh yang besar bagi sejarah bangsa. Mereka tiba bak juru selamat. Penjajah Belanda diusirnya. Orang Eropa apalagi. Orang-orang kulit putih itu derajatnya diinjak-injak. Belanda pun mengangkat derajat kaum bumiputra sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Empunya kuasa mencoba merangkul pemimpin kaum bumiputra. Organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) jadi tumpuan. Organisasi itu jadi ruang tokoh bangsa kesohor berkarya. Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansyur adalah pimpinannya.

Keempat pun dikenal sebagai empat serangkai. Tugas Putera antara lain dianggap sebagai alat Jepang untuk menggalang dukungan kepada kepentingan perang. Namun, realitas berkata lain. Putera justru langgeng untuk menjadi corong kaum nasionalis memerdekakan bangsa. Alias, Putera jadi kendaraan politik kaum bumiputra.

Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno, dan Mohammad Hatta saat berjalan-jalan di Tokyo, Jepang pada 14 November 1943. (KITLV/Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde)

Jepang pun mengaku senang dengan kehadiran Putera. Mereka menganggap kehadiran Putera cukup efektif. Sekalipun mereka tak menyadari apa yang sebenarnya direncanakan pemimpin bangsa lewat perpanjang tangan Putera.

“Sementara bagi para pemimpin nasionalis, Putera terutama merupakan sarana untuk menyebarkan dan menginisiasi ide-ide nasionalis di kalangan rakyat serta mengusahakan kesepakatan yang dibuat dengan Jepang yang mengarah kepada pemerintahan mandiri.”

“Signifikansi Putera yang berikutnya bagi para pemimpin nasionalis, meskipun yang ini kurang begitu penting, adalah sebagai organisasi yang didedikasikan untuk membantu tujuan-tujuan perang Jepang, tetapi sebatas tujuan minimum saja yang diperlukan demi mencapai tujuan-tujuan nasionalis jangka panjang,” ungkap Sejarawan George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (2013).

Peranan pemimpin bangsa di Putera itulah yang membuat Kaisar Hirohito kepincut. Ia secara langsung mengundang dua orang kaum nasionalis mewakili bumiputra ke Jepang. Pertama, tokoh yang dapat membakar semangat: Soekarno. Kedua, tokoh Islam berpengaruh: Ki Bagus Hadikoesoemo.

Namun, karena pengaruh Gunseikan (pimpinan pemerintahan militer Jepang di Nusantara) Hatta termasuk di dalamnya. Ketiganya pun diterima Hirohito dan dianugerahi Bintang Kekaisaran Ratna Suci di Tokyo, pada 13 November 1943.

Mohammad Hatta, Soekarno, dan Ki Bagus Hadikoesoemo dalam sebuah jamuan makan saat berkunjung ke Jepang pada 1943. (KITLV/Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde)

Sehari setelahnya, atau 14 November 1943 pihak Jepang kemudian mengajak ketiganya jalan-jalan keliling Tokyo. Mereka mengunjungi banyak tempat. Kuil Meiji dan Yasakuni adalah beberapa di antaranya. Perjalanan itu membuktikan bahwa ketiganya adalah tamu penting bagi Jepang.

“Pada pertemuan dengan Gunseikan itu, ia memberitahukan kepadaku, tugasku, sungguhpun sama-sama berangkat dengan Soekarno dan Ki Bagus Hadikoesoemo, berlainan dari tugas mereka berdua itu. Mereka dikirim ke sana atas permintaan Tokyo. Tetapi aku dikirim ke sana atas permintaan dia untuk melaksanakan suatu tugas yaitu mempelajari Nippon Sheishin, supaya aku kelak sesudah kembali ke Jawa menulis sebuah buku tentang itu yang dapat dipelajari oleh rakyat.”

“Jadi, katanya, tuan diutus ke sana atas tanggung jawabku. Segala perbuatan tuan yang berlainan dengan tugas yang dibebankan kepada tuan, aku yang akan mempertanggungjawabkan. Tuan jangan membicarakan hal yang lain dari dari yang ditugaskan kepada tuan,” cerita Bung Hatta dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1979).