JAKARTA - Olahraga sepak bola memiliki arti penting bagi rakyat Brasil. Sepak bola bukan melulu olahraga yang mengucurkan keringat belaka. Rakyat Brasil justru menyakini sepak bola adalah jalan hidup dan gengsi sebuah negara.
Realitas itu terlihat dalam persiapan gelaran Piala Dunia 1950. Kemiskinan bukan alasan bagi Brasil untuk tak berbenah jadi tuan rumah. Stadion baru untuk menyemarakkan final ritus empat tahunan dibangun. Stadion Maracana, namanya. Apalagi Brasil percaya diri akan keluar sebagai juara, meskipun akhirnya kalah 1-2 dari Uruguay di laga final.
Kegemaran orang Brasil terhadap sepak bola tiada dua. Orang-orang sulit menemukan suatu tempat di Brasil tanpa kehadiran sepak bola. Dari taman hingga pantai. Tiada yang dapat menjauhkan kesenangan orang Brasil akan sepak bola. Orang tua mereka apalagi.
Dukungan penuh acap kali diberikan untuk sepak bola. Mereka ingin suatu saat anak-anaknya bertumbuh sebagai pemain bola terkenal. Anak mereka bermain di level internasional. Bahkan, anak mereka diharapkan mampu membawa Brasil jadi juara Piala Dunia. Karenanya, bendera Brasil dapat terbang dengan setinggi-tingginya.
Kesenangan orang Brasil terhadap sepak bola bukan tanpa alasan. Sepak bola dianggap satu-satunya jalan untuk keluar dari kubangan kemiskinan. Konon, di Brasil adalah mimpi buruk sebuah keluarga jika tak punya anak laki-laki yang tak bisa menendang bola.
Mereka mengharapkan anak-anaknya bertumbuh dan sukses sebagai pemain sepak bola. laku hidup itu membuat permainan sepak bola bak ritual keagamaan yang tak boleh lepas. Bahkan, keduanya dapat dilakukan dalam suatu waktu.
“Di Brasil misalnya. praktek permainan sepak bola bahkan sering diaduk rata dengan ritual agama. Tingkah laku pemain di dalam dan di luar lapangan mewakili kehidupan beragama di sana. Hal tersebut menimbulkan keyakinan siapapun yang mencatat gol pertama untuk brasil, kemungkinan besar Yesus yang akan dianggap berperan. Semua pemain yang beragama Katolik memulai pertandingan dengan membuat tanda salib.”
“Profesor Carmen Rial, pakar antropologi sosial dari Universitas Federal di Santa Catarina menyebutkan perayaan kemenangan tim nasional Brasil sangat kentara menenjukkan ketaatan beragama para pemain. Hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa sepak bola menjadi locus geologicus, titik pertemuan antara manusia dan Tuhannya. Harapan kemenangan yang hendak diperoleh atau rasa cemas yang tinggi akan kekalahan dapat saja terjadi di lapangan,” ungkap Iswandi Syahputra dalam buku Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media atas Budaya (2016).
Stadion Maracana
Kecintaan akan sepak bola membuat rakyat Brasil kerap menunggu kehadiran Piala Dunia di negara mereka. Pucuk dicinta ulam tiba. Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menunjuk Brasil untuk pertama kalinya sebagai tuan rumah pada gelaran Piala Dunia 1950.
Rakyat Brasil merayakannya dengan gegap gempita. Namun, tidak bagi dunia. Narasi Brasil sebagai tuan rumah banyak ditentang karena ragam fasilitas yang kurang mendukung. Brasil dianggap tak memenuhi kualifikasi menjadi tuan rumah untuk hajatan akbar sepak bola dunia.
Empunya kuasa pun mencoba membungkam segala macam komentar miring. Ragam fasilitas penunjang piala dunia mulai disiapkan. Bahkan, semenjak dua tahun sebelum penyelenggaraan Piala Dunia 1950. Brasil tak mau dianggap remeh, sekalipun masyarakatnya masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.
Brasil pun berambisi membangun sebuah stadion baru di jantung Brasil, Rio de Jeneiro. Mereka ingin membangun stadion yang besar untuk pembukaan dan final Piala Dunia 1950. Daya tampung besar terutama. Bisa menampung ratusan ribu orang (final Piala Dunia 1950 disaksikan 174 ribu). Stadion itu mulai dikerjakan pada 1948. Stadion Maracana, namanya.
Proyek mercusuar itu dikerjakan oleh 10 ribu pekerja. Mereka bekerja siang dan malam. Kerja keras rakyat Brasil tak mengkhianati hasil. Stadion itu diresmikan pada 16 Juni 1950, atau delapan hari sebelum pertandingan pembuka Piala Dunia 1950, antara Brasil melawan Meksiko. Brasil unggul 4-0 atas Meksiko yang disaksikan ratusan ribu penonton.
“Itu bermula setengah abad yang lewat. Pada Piala Dunia 1950, Brazil muda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka negara yang modern, penuh ambisi, dan percaya diri. Empat tahun sebelumnya, mereka melahirkan konstitusi demokratis untuk mengakhiri kediktatoran selama masa Perang Dunia Kedua.”
“Optimisme dan kebaruan membutuhkan simbol. Ukuran sangat penting mengingat Brazil adalah negara besar dengan pantai lebar, sungai besar, dan hutan hujan tropis raksasa. Mereka sudah punya patung Yesus paling besar. Namun mereka Membutuhkan simbol baru. Untuk itulah mereka membangun stadion terbesar di dunia: Maracana,” ungkap Darmanto Simaepa dalam buku Dari Belakang Gawang (2021).