JAKARTA - Semarak penyelenggaraan Piala Dunia 2010 tiada dua. Terpilihnya Afrika Selatan sebagai tuan rumah jadi musabab. Penyelenggaraan turnamen akbar itu buat segenap rakyat Afrika Selatan larut dalam gegap gempita.
Pernak-pernik budaya Afrika turut disiapkan. Kehadiran terompet vuvuzela, misalnya. Bising suara vuvuzela terdengar di mana-mana. Banyak penonton dan pemain yang senang, banyak pula yang terganggu. Namun, apalah daya, vuvuzela adalah bagian tak terpisahkan dari sepak bola Afrika.
Boleh jadi vuvuzela disebutkan sebagai instrumen musik paling menyebalkan di dunia sepak bola. Pemain dan penonton sepak bola banyak terganggu. Tapi, tidak bagi segenap warga Afrika Selatan. Vuvuzela sudah sudah jadi bagian dari budaya, utamanya dalam tumbuh kembang industri sepak bola Afrika Selatan.
Tinggi suara vuvuzela dianggap menyiratkan makna orang yang bersenang-senang. Apalagi, vuvuzela diyakini berasal dari bahasa Zulu yang mewakilkan tiga hal: selamat datang, bersatu, dan rayakan. Narasi itu jadi bukti vuvuzela telah hadir sejak lama.
Vuvuzela pun dielu-elukan bak bagian yang tak terpisahkan dari orang Afrika. Tanpa kehadirannya, turnamen sepak bola sekaliber apapun di Afrika takkan ramai. Namun, tiada yang mengetahui pasti awal mula vuvuzela ditemukan.
Kebanyakan orang Afrika meyakini penggunaan terompet Afrika itu telah digunakan sejak dulu kala. Bahan dasar terompet dibuat dari tanduk binatang. Terompet itu dulunya digunakan untuk mengusir binatang, sekaligus lawan.
Ada pula yang menganggap vuvuzela adalah buah karya dari seorang Afrika bernama Freddie Maake pada 1970-an. Ia terinsiprasi dari klakson sebuah sepeda. Pun muncul keinginan untuk membuat suatu terompet yang nyaring dan menggelegar seperti klakson sepeda yang menyemarakkan pertandingan sepak bola. Vuvuzela, namanya.
“Vuvuzela adalah terompet plastik panjang yang digambarkan oleh surat kabar setempat sebagai: bunyi yang nyaring dan indah. Meskipun ada banyak orang yang mempertanyakan keakuratan bagian akhir pernyataan ini. Awalnya dibuat dari timah dan diduga terinspirasi oleh terompet-terompet lengkung. Terompet itu ditiup untuk memanggil rekanan ke pertemuan, vuvuzela yang panjangnya 65 cm sekarang menjadi bagian integral dari industri sepak bola Afrika Selatan.”
“Sejarah dan asal instrumen ini tidak jelas. Ada yang mengajukan gagasan bahwa vuvuzela adalah bagian tradisional kebudayaan Afrika, meskipun gagasan ini masih diperdebatkan. Daya tarik instrumen ini lebih menarik lagi dengan mengatakan bahwa seekor babon dibunuh oleh suara bising. Oleh karena itu, para pendukung klub kesayangan meniup dengan menunjukkan ini dalam upaya untuk mengalahkan lawan,” ungkap Rob Marsh dalam buku Africa: Fact, Fiction, Or Fable (2012).
Vuvuzela Diprotes
Orang Afrika menganggap suara vuvuzela memiliki daya magis yang menyemangati pemain sepak bola. Namun, pandangan itu tak diamini oleh banyak pemain dan penonton sepak bola dari luar Afrika Selatan.
Protes penggunaan vuvuzela merebak di mana-mana. Bahkan, semenjak gelaran pendahulu Piala Dunia 2010: Piala Konfederasi FIFA 2009 di Afrika Selatan. Gelaran turnamen sepak bola yang beranglung sejak 14-28 Juni 2009 diisi dengan protes sana-sini. Dari penonton hingga pemain sepak bola.
Beberapa pemain menganggap vuvuzela membuat mereka tak dapat mendengar satu sama lain. Suara wasit, terutama. Ada pula yang menyebut vuvuzela tak memiliki kontribusi signifikan untuk menambah hangatnya atmosfer pertandingan.
Penonton sepak bola dunia juga ikut geram. Mereka menganggap gara-gara vuvuzela suara komentator pertandingan jadi tak terdengar. Bahkan, yang lebih ekstrem suara vuvuzela disebut-sebut dapat merusak pendengaran.
Seruan kepada Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) untuk melarang penggunaan vuvuzela dalam Piala Dunia 2010 bergulir. Usaha itu diapresiasi oleh FIFA. Namun, FIFA enggan menerima seruan itu. FIFA menyebut vuvuzela adalah bagian penting dari budaya sepak bola Afrika Selatan.
Tanpa vuvuzela hajatan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan takkan semarak. Karenanya, suara bising vuvuzela kemudian terus mengisi tiap pertandingan dari penyisihan hingga final Piala Dunia 2010. Vuvuzela baru dilarang pada pengelenggaraan Piala Dunia berikutnya.
“Apa Anda mau melihat tradisi fans di negara Anda sendiri dilarang?,” ungkap Presiden FIFA, Sepp Blatter (1998-2015) sebagaimana dikutip laman Mirror, 14 Juni 2010.
"Saya selalu bilang Afrika punya ritme berbeda, bunyi yang beda. Saya tak ingin melarang tradisi musik dari fans di negeri mereka sendiri," tulis Blatter dalam akun Twitternya.