Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 82 tahun yang lalu, 9 November 1940, Mohammad Husni (M.H) Thamrin berpidato memberikan pandangan umum dalam Sidang Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Retorikanya menggelegar. Ia meminta Belanda jangan setengah-setengah dalam mengakui Indonesia.

Pria berjuluk macan parlemen itu dengan tegas meminta Belanda mengganti Hindia Belanda jadi Indonesia. Sebelumnya, keberanian Thamrin membela nasib kaumnya tiada dua. ia mampu memaksa Belanda untuk peduli dengan nasib kaum bumiputra.

Jepang kerap unjuk gigi sebagai penguasa Asia yang baru. Negeri Matahari terbit pun mencoba mengusir kekuatan asing di beberapa negera Asia. Hindia-Belanda, salah satunya. Strategi jitu disusun: menyebar pasukan intelejen. Jepang tak mau gegabah menyerang Belanda tanpa membaca situasi terlebih dahulu.

Jepang menebar pasukan intelijennya untuk melakukan penyamaran. Pedagang jadi profesi penyamaran yang banyak dipilih. Banyak toko-toko barang dagangan Jepang didirikan. Kaum bumiputra lantas kepincut dengan tumbuh kembang toko Jepang.

Kaum bumiputra merasa belanja di toko Jepang lebih murah dibanding toko lainnya. Berkualitas pula. Mereka jadi dekat dengan pedagang Jepang. Kedekatan dengan pembeli itu yang membuat agen intelijen Jepang mampu mengumpul banyak informasi.

POtret Muhammad Husni Thamrin. (Wikimedia Commons)

Kaum bumiputra lebih leluasa menceritakan situasi kepada pedagang Jepang. Tanpa terkecuali. Semua karena kaum bumiputra telah lelah dijajah Belanda. Mereka menganggap orang Jepang jadi salah satu yang bersimpati kepada mereka. Kumpulan informasi itu kemudian dikirim kepada petingginya.

“Kecuali berusaha menguasai pasaran, Jepang juga berusaha menguasai pengangkutan dengan kapal. Di daerah-daerah pasaran, Jepang menempatkan distributor-distributornya atau agen-agennya sehingga pemasaran barang terkontrol. Banyak toko-toko Jepang didirikan. Ini semua merupakan bukan saja usaha ekonomi, tetapi juga persiapan gerakan militer.”

“Itu terbukti ketika Jepang melakukan pendaratan dan kemudian pendudukan Indonesia, ternyata bahwa penguasa-penguasa pertokoan itu adalah opsir-opsir Jepang. Orang-orang Indonesia dibuat tercengang ketika kemudian pemilik-pemilik toko itu memakai seragam militer Jepang dengan pangkat opsir (perwira). Di Yogya terkenal dulu toko Fuji,” ungkap G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Bagian 1 (1989).

Belanda pun telah mencium gelagat tak baik Jepang. Namun, apa daya, keterbatasan anggaran dan armada perang membuat Belanda tak mampu menertibkan intelijen berbusana pedagang asal Jepang. Satu-satunya ajian yang dilakukan Belanda adalah menarik simpati kaum bumiputra. Berharap kaum bumiputra mendukungnya.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda bersedia mengganti sebutan inlander dan menggantinya menjadi indonesier (orang Indonesia). Alih-alih mendapatkan simpati. Anggota Volksraad sekaligus pejuang kemerdekaan, M.H. Thamrin justru menantang Belanda tak setengah-setengah mengakui Indonesia.

Patung Muhammad Husni Thamrin di ujung utara Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. (Creative Commons)

Keinginan itu disampaikan Thamrin dalam pidatonya dalam Sidang Volksraad memberikan pandangan umum pada 9 November 1940. Ia ingin Belanda berbuat total. Ia ingin nama Hindia Belanda segera diganti Indonesia. Namun, Belanda tak pernah menggantinya sampai Jepang muncul dan menjadikan Hindia Belanda sebagai Indonesia pada 1942.

“Dalam pidato yang sama Thamrin kembali lagi pada kenyataan bahwa pemerintah begitu menentang, menolak pergantian Netherlands Indies (Hindia Belanda) dengan Indonesia, dalam waktu yang sama menganjurkan penggunaan Indonesia untuk inlander. Ia bertanya: masa boleh orang menyebut Indonesier dan Indonesisch kala tidak ada nama Indonesia.”

“Bahkan, Jan Verboom (petinggi Perkumpulan Majikan Gula) menyela dengan kata-kata Zeer Juist (benar sekali. Setelah berterima kasih pada Verboom, ia melanjutkan dengan pepatah, adakah telur, jikalau tidak ada ayamnya. Selanjutnya Thamrin membuat ikhtisar hal-hal yang dipandangnya sangat penting bagi rakyat untuk dicapai,” ungkap Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003).