Tuanku Imam Bonjol Meninggal Dunia dalam Sejarah Hari Ini, 6 November 1864
Makam Tuanku Imam Bonjol di Minahasa. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 158 tahun yang lalu, 6 November 1864, Pemimpin Kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia. Ia meninggal dunia di tanah pengasingan Minahasa, Sulawesi Utara. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai sosok yang pemberani.

Ia barani membela kepentingan kaumnya melawan penjajah Belanda. Semua dilakukan demi tegaknya nilai-nilai Islam di Tanah Minangkabau. Perlawanannya membuat Belanda kerepotan. Apalagi perlawanan yang dilanggengkan Tuanku Imam Bonjol membuat Belanda rugi besar.

Ibadah haji pernah jadi medium perlawanan kaum Muslim bumiputra melawan Belanda. Semua itu karena ulama-ulama yang balik dari Makkah kerap memimpin perlawanan terhadap Belanda. Mereka pulang tak melulu membawa ilmu agama semata.

Mereka pulang juga turut membawa paham impor. Pan-Islamisme namanya. Suatu paham yang berani mengumandangkan sikap perlawanan atas kolonialisme dan imperialisme di muka bumi. Barang siapa yang mengumandangkan penjajahan, maka mereka adalah musuh.

Itulah yang kemudian dilakukan Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Ulama Minangkabau itu tak cuma geram dengan penjajah Belanda, tapi juga geram dengan kelompok adat (Kaum Adat) setempat yang tak menerapkan syariat Islam secara penuh.

Coretan pensil karya Hubert de Stuers pada 1820 yang menggambarkan sosok Tuanku Imam Bonjol. (Tropenmuseum)

Dukungan Kaum Muslim pun bejibun. Kaum Padri dibentuk untuk mengumandangkan perlawanan. Kaum Adat lalu bersekutu dengan Belanda melawan Kaum Padri. Perang Padri yang berkobar tahun 1803-1838. Belakangan, kepemimpinan Kaum Padri itu dilanjutkan oleh sosok ulama karismatik asal Sungai Rimbang.

“Tentu saja gerakan pemurnian ketiga ulama muda tersebut mendapat perlawanan yang keras dari Kaum Adat. Gejolak pun terjadi. Tuanku Sumanik mendapat perlawanan hebat di negerinya hingga ia terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin juga mendapat perlawanan yang tak kalah berat di Pandai Sikek hingga terpaksa pindah ke Ampek Angkek. Hanya Tuanku di Piabang yang tidak banyak mendapat tantangan.”

“Para ulama Padri kembali berupaya melakukan pendekatan berunding dengan pihak Kerajaan Pagaruyung agar masyarakat dan Raja mau memurnikan ajaran Islam dengan menghapus adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803 mengalami kebuntuan yang berujung kepada konflik bersenjata antara Kaum Padri dan Kaum Adat yang dikenal sebagai Perang Padri,” ungkap Adi Teruna Effendi dkk dalam buku Jejak Islam di Nusantara (2019).

Kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol buat Kaum Padri bersatu. Mereka terus melawan Belanda. Namun, Belanda dengan persenjataan modern membuat Kaum Padri terdesak. Belanda mencoba mengajak pemimpin Padri tersebut berunding supaya menyerah.

Perundingan sempat gagal. Pertempuran pun berlanjut. Satu persatu basis massa kaum Padri dikuasai Belanda. Tuanku Imam Bonjol pun menyerah. Ia kemudian diasingkan. Pengasingannya pindah-pindah tempat. Dari Cianjur hingga Minahasa. Di pengasingannya yang terakhirnya (Minahasa), Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada 6 November 1864.

Lukisan adegan pertempuran dalam Perang Padri di Sumatra Barat oleh G.L. Kepper pada 1900. (Wikimedia Commons)

“Akhirnya benteng Bonjol yang dipertahankan oleh kaum Padri dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan Belanda, Pasukan Padri Bonjol tidak berdaya lagi berhadapan dengan pasukan musuh yang lebih besar jumlahnya di samping senjata yang lebih lengkap sehingga terpaksa menyerah.”

“Penyerahan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya terjadi pada tanggal 25 Okboter 1837 dan merupakan pukulan berat bagi perlawanan kaum Padri pada umumnya. Kaum Padri terpaksa meninggalkan Bonjol untuk meneruskan perang di hutan-hutan. Tuanku Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 beliau dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke (dekat) Manado (Minahasa), dan meninggal di sana pada tanggal 6 November 1864,” terang Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (2008).