Kurang Dana: Muara Kegagalan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels Pindahkan Ibu Kota Hindia-Belanda
Balai Kota di Batavia Lama . (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Batavia acap kali dianggap negeri salah urus. Bahkan, sejak awal penjajahan Belanda. Pembangunan kota meniru tata kota di Belanda jadi muaranya. Kondisi itu memancing iklim tak sehat. Petaka datang. penyakit tropis mewabah. Kondisi perang apalagi.

Korban jiwa pun berjatuhan. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels ingin mengubahnya. Ia memiliki ide untuk memindah Ibu Kota Hindia-Belanda. Namun, apa daya, kekurangan dana memupuskan mimpi pindah ibu kota.

Jauh dari kampung halaman kerap memancing kerinduan. Itulah yang dipikiran orang Belanda ketika mengubah Jayakarta menjadi Batavia pada 1619. Negeri yang awalnya milik kaum bumiputra segera diubah meniru kota di Belanda. dari pembangunan rumah gedong hingga kanal-kanal. Demi mengobati kerinduan akan kampung halaman.

Tata letaknya dibuat indah bukan main. Bak Venezia dari Timur. Pujian itu kerap terdengar pada masa awal masa kuasa maskapai dagang Belanda, VOC. Batavia dijadikan pemukiman orang Belanda yang cukup nyaman ditinggali. Insfrastruktur penunjang tak lupa disiapkan dengan sebaik-baiknya.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels menurut lukisan Raden Saleh. (Wikimedia Commons)

Nyatanya, pembangunan Batavia menyerupai kota di Belanda adalah sebuah kesalahan. Apalagi ditambah dengan laku hidup orang Belanda yang melulu memikirkan keuntungan belaka, tapi abai kepada lingkungan hidup. mereka secara gegabah menebang hutan dan membangun pabrik.

Limbahnya pun tak diberlakukan dengan hati-hati. Akibatnya, petaka muncul. Iklim Batavia jadi tak sehat. Korban jiwa dari orang Belanda berjatuhan. Kondisi itu bertahan hingga kuasa VOC berganti oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels (1808 – 1811) ketiban sial. Ia kehabisan akal menanggulangi permasalahan iklim tak sehat Batavia. Daendels lebih memilih menyalahkan pendahulunya.    

“Para pejabat Kompeni juga mencoba melempar kesalahan terutama kepada alam: iklim tak sehat daerah berawa-rawa di negeri tropis, kurang air bersih, terbentuknya beting di depan muara sungai sebagai akibat erupsi gunung berapi, Gunung Salak tahun 1699. Jarang mereka itu mempermasalahkan kebijakan kompeni sendiri, tetapi justru cenderung menuding pendahulu-pendahulunya yang telah membangun kota dengan mencontoh gaya kota Belanda.”

“Yaitu dengan rumah berderet dan beberapa parit yang dipagari pepohonan rindang. Di sini alasan yang hendak dikemukakannya ialah, bahwa keadaan tak sehat pada daerah pemukiman yang terlampau padat diperburuk oleh adanya parit-parit itu. Bau busuk air tercemar itu tidak bisa disapu bersih oleh angin oleh karena tertahan oleh deretan perumahan dan pepohonan tersebut,” ungkap Sejarawan Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (1988).

Kurang Dana

Herman Willem Daendels yang terkenal mampu membersihkan birokrasi, justru tak berkutik menanggulangi iklim buruk dan wabah penyakit di Batavia. Alih-alih menelurkan kebijakan tepat guna, Daendels lebih memilih solusi instan seperti pendahulunya.

Daendels menggelorakan ide pemindahan Ibu Kota Hindia-Belanda dari Batavia ke Surabaya atau Semarang. Dua kawasan itu dipilihnya karena dianggap memiliki iklim lebih sehat. Apalagi, Belanda digadang-gadang akan dapat membawa keuntungan yang besar dibanding memaksakan hidup di dekat Sunda Kelapa.

Pindah atau mati. Begitulah pria yang berjuluk Mas Galak menggaungkan pemindahan ibu kota. Keinginan pemindahan ibu kota dirasa penting juga untuk alasan keamanan. Posisi Ibu Kota yang berada di dekat Pasar Ikan (Kota Tua) dianggap tak strategis untuk menghindar dari serangan musuh: Inggris.

Jauh panggang dari api, rencana pemindahan ibu kota ke Jawa Tengah atau Jawa Timur gagal total. Daendels menyadari pemerintahannya kekurangan dana. Donatur pun tak punya. Lagi pula, masa kekuasaan VOC sebelumnya meninggalkan utang yang cukup besar yang harus ditanggung pemerintah Hindia-Belanda.

Pusat Pemerintahan di Batavia Baru (kawasan sekitar Lapangan Banteng). (Wikimedia Commons)

Belum lagi harta kekayaan pemerintah Hindia-Belanda banyak dikorupsi. Sedang kas pmerintah kolonial Hindia-Belanda sedang terbatas. Mau tak mau Daendels mengalah. Opsi penghematan dipilihnya sembari memberantas korupsi di kalangan pejabat Belanda.

Ibu Kota Hindia-Belanda pun tetap di Batavia. Namun, Herman Willem Daendels hanya menggeser ibu kota dari Oud Batavia (Batavia Lama) ke Nieuw Batavia (Batavia Baru): Weltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banteng) pada 1809.

Pengeseran itu dapat teralisasi karena Daendels memberikan perintah penghancuran sbeagian besar fasilitas pemerintahan di Batavia Lama. Kemudian, sisa-sisa material dari penghancuran yang masih bagus digunakan untuk membangun ibu kota baru. Semuanya demi penghematan.

“Mereka tidak mau memahami bahwa tata kota tropis seharusnya berbeda dengan tata kota Eropa dan bahkan tata kota Belanda. Kota Batavia berbentuk bulat lonjong yang dilindungi dengan dinding atau tembok kota, dan dilengkapi dengan benteng yang kokoh di sebelah utara, dikelilingi dengan kanal-kanal kumuh yang menghanyutkan segala jenis sampah. Daendels memang suatu kali berniat untuk memindahkan ibukota Hindia-Timur dari Batavia ke Surabaya.”

“Namun rencana itu tidak terlaksana karena soal dana. Meskipun demikian sejak berada di Batavía dan 20 tahun kemudian, kota tua dan benteng yang berdiri di pantai sebagai pintu masuk diratakan dengan tanah karena secara militer bangunan tersebut tidak bermanfaat lagi. Pada 1816, dimulailah pembangunan kawasan pemukiman baru ke arah selatan kota lama dan di seputar tempat yang beberapa waktu lalu diberi nama Champs de Mars (kini: Lapangan Monas), kemudian Koningsplein (Medan Merdeka), juga di seputar jalan-jalan baru Parapatan,” terang Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis (2016).