Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 329 tahun yang lalu, 19 Oktober 1693, Maskapai dagang Belanda VOC meresmikan pembangunan rumah ibadah kaum Protestan, Portugese Buitenkerk (Gereja Portugis di luar tembok kota). Pieter van Hoorn dari Dewan Hindia meletakkan batu pertama pembangunan sebagai simbolis.

Gereja itu kemudian dikenal sebagai Gereja Sion. Kehadiran Gereja Portugis diperuntukan kepada kelompok budak Portugis dari Malaka (kaum Mardijker) yang telah beralih agama. Dari Katolik ke Protestan. Sebagai bentuk simpati, Belanda pun memberikan mereka hak istimewa. Pembangunan gereja, salah satunya.

Maskapai dagang Belanda VOC kerap menggaungkan laku hidup bermoral. Bahkan, sejak fase awal kuasanya di Batavia. Hubungan dengan Tuhan tetap nomor satu. Berdagang nomor dua. Orang Belanda pun diharapkan menjadi penganut Calvinisme (Protestan) yang taat.

VOC mencoba meluruskan segala macam kelakukan orang Belanda – dari pejabat hingga serdadu. Sedang mereka yang tak mau mendengar dan melanggengkan pelanggaran norma gereja segera diberantas. Apalagi yang doyan mabuk dan zina. Hukuman berat menanti. Nyawa pun dapat melayang karenanya.

Gereja Sion pada masa lalu. (Wikimedia Commons)

Petinggi VOC, sedari masa Jan Pieterszoon Coen terus menjaga moral orang Belanda di tanah jajahan. Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627- itu ingin menjadikan orang Belanda sebagai contoh teladan di negeri koloni.

Ketaatan itu membuat VOC terus melanggengkan agenda keagamaan. Mereka mengajak seluruh orang Belanda aktif menasranikan budaknya. Itulah yang kemudian dilakukan saat Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis pada 1641.

Budak-budak dari Malaka di bawah ke Batavia bak tahanan perang. Alih-alih mereka dibenci, orang Belanda justru bertindak bak juru selamat. Kaum budak yang dikenal sebagai Portugis Hitam itu ditawarkan hak istimewa, asalkan mau berpindah agama: dari Katolik ke Protestan.

“Baik Kompeni maupun generasi pertama para penjajah berpendapat, tugas utama mereka adalah menasranikan budak-budak mereka sesegera mungkin, mengikuti teladan Nabi Ibrahim, yang menurut kitab Injil, juga menganggap dan memperlakukan budak-budaknya sebagai anggota keluarganya sendiri. Di kota-kota seperti Batavia, Malaka, Colombo, dan Tanjung Harapan, pembaptisan memberikan hak kepada para budak untuk menikah, dikubur secara nasrani dan menerima warisan: suatu kedudukan sosial dan legal dalam sebuah masyarakat nasrani.”

“Oleh karena itu, pebaptisan tidak hanya perlu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, tetapi hanya perlu dilakukan untuk menumbuh kembangkan masyarakat nasrani yang tertib. Membuat orang memeluk agama nasrasi indentik dengan pembauran; tujuan ini hendak dicapai oleh gereja dan juga oleh pemerintah,” ungkap Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Gereja Sion yang merupakan gereja tertua di Jakarta, muai dibangun pada 19 Oktober 1693. (Wikimedia Commons)

Perpindahan agama itu buat budak-budak dibebaskan. Mereka pun dikenal sebagai kaum Mardijker (budak yang dibebaskan). Mereka diizinkan hidup di Kota Batavia dan kawasan Omelanden. Hak-hak yang mereka dapatkan setara orang Eropa. Mereka dapat membangun rumah dan bekerja di Batavia.

Segala macam kebutuhan kaum Mardijker diberikan oleh VOC. Pembangunan Portugese Buitenkerk, salah satunya. Gereja Portugis itu sengaja didirikan sebagai bukti kedekatan hubungan antara orang Belanda dan Mardijker.

Lagi pula, peletakan batu pertama Gereja Portugis itu dilakukan langsung oleh perwakilan Raad van Indie (Dewan Hindia), Pieter van Hoorn pada 19 Oktober 1693. Gereja yang kini terletak di Jalan Pangeran Jayakarta pun selesai dibangun dua tahun setelahnya, atau pada 1695.

“Ciri khas kelompok Mardijker adalah bahasanya. Mereka menggunakan bahasa Portugis (barangkali dialek Asia dan beragama Kristen. Kelak sesudah Malaka direbut VOC pada tahun 1641 banyak orang yang mengaku keturunan Portugis itu berdatangan ke Batavia. Mula-mula mereka diberi tempat di dalam kota.”

“Beberapa tahun kemudian mereka dipindahkan keluar tembok kota dan diberi gereja yang dikenal dengan nama Portugese Buitenkerk, yang berarti Gereja Portugis di luar tembok kota. Gereja itu sekarang dikenal dengan nama Gereja Sion,” terang Muhadjir dalam buku Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya (2000).