Presiden Megawati Minta Pertanggungjawaban Kapolri atas Peristiwa Bom Bali I dalam Sejarah Hari Ini, 13 Oktober 2002
Kehancuran ,di kawasan Kuta, Bali setelah terjadi peristiwa pengeboman pada 12 Oktober 2002 dengan ratusan korban jiwa, yang kemudian dikenal sebagai Bom Bali I. (Twitter/@National Museum Australia)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 20 tahun yang lalu, 13 Oktober 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri memerintahkan sidang kabinet paripurna dadakan. Sidang itu diinsiasi oleh Megawati karena sehari sebelumnya Indonesia berduka dalam tragedi Bom Bali I pada 12 oktober 2002.

Megawati meminta Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar untuk segera bertanggung jawab. Dari kronologi Bom Bali hingga apa saja langkah yang akan diambil ke depan. Namun, Megawati enggan mencopot pimpinan kepolisian itu. Ia lebih memilih untuk memberi kesempatan Da’i Bachtiar membereskan pelaku pengeboman.

Gairah Pulau Bali sebagai tempat pariwisata telah kesohor sedari dulu. Bahkan, semenjak masa penjajahan Belanda. Pelancong dari luar negeri banyak berdatangan ke Pulau Dewata. Sekalipun masih terbatas. Bagi mereka, Bali laksana Surga. Semuanya karena sajian alam, masyarakat, dan budaya yang telah mengakar.

Narasi itu tak berubah hingga Indonesia merdeka. Perlahan-lahan, pariwisata Bali pun berkembang pesat. Orang-orang dari seluruh belahan dunia telah berlibur ke Bali. Tiada pembeda. Karenanya, pintu Bali terbuka digadang-gadang terbuka bagi semua bangsa, semua agama.

Megawati Soekarnoputri. (Perpusnas)

Narasi kepopuleran Bali nyatanya membuat Negeri Para Dewa menjadi target kejahatan. Sekelompok teroris ingin melakukan pengeboman di Bali. Bom pun meledak di tiga tempat berbeda pada 12 Oktober 2002. Antara lain di Sari Club, Paddy’s Pub, dan di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat.

Korban pun berjatuhan. Ratusan nyawa melayang. Mereka yang jadi korban adalah turis Australia dan orang Bali sendiri. Peristiwa itu kemudian membawa kedukaan mendalam bagi segenap rakyat Indonesia dn Australia.

“Dari perspektif kemanusiaan, peristiwa Bom Bali adalah tragedi sangat besar, baik dari jumlah korban yang mencapai 200-an orang, maupun yang menyangkut masa depan kemanusiaan. Pada era kemajuan teknologi, manusia justru semakin sulit bernapas. Ini terbukti dengan semakin rapuhnya nilai kemuliaan dan kemerdekaan manusia.”

“Bau amis darah, harga nyawa, dan epidemi iblis suah menjadi bagian dari keseharian sebuah negeri, yang konon, terkenal ramah dan penyayang. Padahal, dalam perspektif Islam, menghilangkan satu nyawa sama dengan menghancurkan seluruh kehidupan, sebaliknya memberikan kehidupan untuk satu nyawa orang maka seakan-akan menghidupkan seluruh denyut kemanusiaan,” ungkap mantan Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagaimana ditulis Maman Imanulhaq Faqieh dalam buku Fatwa dan Canda Gus Dur (2010).

Peristiwa itu membuat Presiden Megawati bergerak menuju Bali pada hari yang sama. Ia langsung meninjau lokasi untuk melihat korban maupun kerusakan akibat pengeboman. Ia pun menyampaikan duka cita yang mendalam.

Mantan Kapolri, Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar. (Antara)

Sehari setelah, Megawati bergegas mengadakan sidang kabinet paripurna dadakan pada 13 Oktober 2002. Sidang itu digelar dalam rangka meminta pertanggungjawaban Kapolri Jenderal Da’I Bachtiar. Kala itu, pihak kepolisian dianggap lalai dan tak mampu mencegah terjadinya Bom Bali.

Megawati pun ambil sikap. Ia tak ingin melakukan pencopotan Kapolri. Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) itu mencoba memberikan kesempatan kepada Kapolri Da’I Bachtiar untuk mengusut tuntas pelaku Bom Bali.

“Langkah Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari yang sama Minggu, 12 Oktober 2002, langsung meninjau lokasi untuk melihat para korban maupun kerusakan yang ditimbulkan, sekaligus memberikan petunjuk dan arahan kepada semua pihak, terutama Polri dan Pemda Bali. Setelah melakukan peninjauan, Presiden memerintahkan sidang kabinet paripurna pada hari Senin, 13 Oktober 2002, di kantor Kepresidenan di Jakarta.”

“Dalam sidang kabinet, saya sebagai Kapolri diminta memaparkan peristiwa tersebut disertai langkah-langkah yang dilakukan dan akan dilakukan. Kesan yang ditangkap dari peserta sidang kabinet, "menyesalkan" terjadinya peristiwa tersebut, bahkan ada risiko yang harus ditanggung oleh penanggung jawab keamanan, yaitu Kapolri, untuk dicopot,” ungkap Jenderal Da’i Bachtiar dalam buku The Brave Lady (2019).