Bagikan:

JAKARTA - Memori hari ini, 29 tahun yang lalu, 12 Oktober 1993, Sastrawan Indonesia, Ramadhan Karta Hadimadja (Ramadhan K.H) menerima South East Asia (S.E.A) Write Award. Hajatan bergengsi itu dihelat di Bangkok, Thailand. Novelnya yang berjudul Ladang Perminus (1990) terpilih sebagai karya sastra terbaik.

Alhasil, ia mampu menjadi sastrawan Indonesia yang mendapatkan penghargaan, setelah A.A. Navis dan Putu Wijaya. Prestasi Ramadhan semakin mengukuhkannya sebagai salah satu sastrawan berbakat Indonesia.

Dunia sastra Indonesia tanpa menyebut sosok Ramadhan tentu kurang lengkap. Ia dapat menjelma segalanya dalam dunia menulis. Ia dapat berperan sebagai penyair, novelis, sejarawan, hingga budayawan. Semuanya ditekuni sama baiknya sejak era 1950-an.

Ia lihai dalam menarasikan sejarah. Urusan membangun narasi fiksi apalagi. Eksitensinya pun diakui. Ia bahkan pernah berangkat ke Belanda belajar kebudayan setempat bersama sastrawan kenamaan lainnya pada 1951. Dari Pramoedya Ananta Toer hingga Sitor SItumorang.

Nama Ramadhan tak kalah mentereng dalam bidang penulisan sejarah. ia dikenang sebagai penulis spesialis biografi tokoh terkenal. Ia dapat menjadi pendengar yang baik dalam menyampaikan narasi dari empunya cerita.

Keterampilan itu dipadu dengan bakat menulis yang tiada dua. Tulisan renyah dan memuat fakta-fakta yang tak banyak orang tahu. Tokoh bangsa pun banyak yang kepincut dengan keterampilannya. Ia pun banyak diminta menulis biografi mereka. Antara lain Soeharto, Ali Sadikin, sampai ‘polisi jujur’ Hoegeng Imam Santoso.

Sampul depan novel Ladang Perminus karya Ramadhan K.H. (kemdikbud.go.id)

“Di luar karya fiksi, namanya diingat juga sebagai penulis ‘pesanan’ khusus biografi. Biografi tentang istri Bung Karno semasa menjadi mahasiswa Bandung: Technische Hoogeschool (kini: ITB), disajikannya dalam Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta lbu Inggit dengan Bung Karno (1981). Tentang Presiden RI kedua yang paling awet berkuasa, dia menulis Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1991).”

“Lalu, tentang primadona opera bangsawan yang model teater terpadu Indonesia baheula, dia menulis Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982). Tentang pendiri korps baret merah dia menulis A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah-Putih (1988),” tutup Remy Sylado dalam tulisan In Memoriam di Majalah Tempo berjudul Ramadhan, Kembali Ke Pangkuan Asal (2006).

Langkah Ramadhan sulit dilampau oleh sastrawan lainnya. Ragam penghargaan pernah ia sabet dalam bidang menulis. Penghargaan yang buat dirinya senang bukan main adalah S.E.A Write Award.

Penghargaan itu didapat Ramadhan K.H. lewat novelnya yang berjudul Ladang Perminus pada 2 Oktober 1993 di Bangkok, Thailand. Penghargaan itu semakin mengukuhkan ayah dari musisi, Gilang Ramadhan sebagai salah satu penulis terbaik yang dimiliki Indonesia.

“Tanggal 12 Oktober 1993 Atun menerima South East Asia Writer Award di Bangkok, Thailand. Dari Indonesia sebelumnya yang meraih award itu adalah AA. Navis, Putu Widjaya, Y.B. Mangunwidjaya. Atun gembira karena namanya dipasang di salah satu hotel di Bangkok.”

“Yang menyenangkan pula hatinya adalah pada Kongres Nasional Sejarah VIl, Jakarta, 28-31 Oktober 2001, Ramadhan K.H. bersama Rosihan Anwar dikukuhkan sebagai Anggota Kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI),” terang Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 3 (2009).