Bagikan:

JAKARTA - Ali Sadikin geram bukan main dengan kemacetan Jakarta. Kemacetan membuat seisi kota merugi. Pemerintah rugi, apalagi rakyatnya. Dia tak tinggal diam. Orang nomor satu Jakarta itu melakukan gebrakan. Pelebaran jalan jadi opsinya di tengah keuangan terbatas.

Pria yang akrab disapa Bang Ali melanggengkan pelebaran jalan tanpa ganti rugi. Ia memanfaatkan karismanya. Warga ditemuinya satu-satu. Ajian itu berhasil. Sebagai apresiasi, Ali mengundang pemilik tanah untuk makan sate dan lontong.

Bukan perkara mudah menjadi seorang Gubenur DKI Jakarta. Itulah yang Ali Sadikin rasakan sejak awal April 1966. Jakarta memiliki masalah dengan tingkat keruwetan yang tinggi. Kecermatan diperlukan untuk memahami segala macam masalah Jakarta.

Pengamatan dengan terjun langsung ke tengah rakyat dilakukan. Ali pun menjalajahi tiap inci Jakarta secara incognito. Siang dan malam. Dari stasiun hingga kampung kumuh. Semua dilakukan untuk mendapatkan rumusan pasti kebijakan yang mampu mengangkat martabat kota dan hajat hidup warga Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pernah membayar proyek pelabaran jalan di Jakarta dengan mengundang pemilik lahan makan sate lontong. (Perpusnas)

Hasil signifikan. Ia merasakan kesedihan kala anak-anak sekolah tanpa sepatu, anak putus sekolah, kurangnya gedung sekolah, ruwetnya transportasi, hingga melihat warga berebut air bersih. Pengamatannya itu dituangkan dalam produk kebijakan.

 Masalah pun muncul. Keuangan DKI Jakarta terbatas. Apalagi untuk melanggengkan seluruh kebijakan. Ali Sadikin bersiasat. Ia bertekad untuk menambah pemasukan bagi Jakarta. Ia memilih untuk melanggengkan menyinergikan cara formal dan kontroversial – melanggengkan perjudian dan pelacuran. Langkah itu berhasil. Sekalipun, dihiasi protes sana-sini. Pun Jakarta banyak membangun karenanya.

“Saya mulai menjadi gubernur pada tahun 1966. Waktu itu saya disudutkan dengan rancangan anggaran belanja Rp66 juta: Rp44 juta subsidi pemerintah pusat dan Rp22 juta dari pendapatan sendiri. Sebelas tahun kemudian, saya meninggalkan pada pak Cokro dengan anggaran belanja Rp116 miliar; 75 persen dari pendapatan  sendiri. Kerja, kerja, kerja. Cari uang untuk rakyat, termasuk judi. Sekarang diributkan tentang judi. Mereka mesti tahu sejarahnya tentang judi itu.”

“Sebelum ada kasino saya, ada enam tempat judi illegal. Siapa di belakangnya? Oknum-oknum tentara. Saya panggil muspida, saya beritahu, saya perlu uang untuk sekolah, untuk ini, untuk ini, untuk ini. Pinjam dari bank tidak boleh. Dari luar negeri tidak boleh. Ini ada sumber uang, akan saya ambil. Dan ada undang-undang yang membenarkan saya sebagai gubernur memberikan izin judi. Saya ambil pajaknya untuk biaya membangun Jakarta,” ungkap Ali Sadikin dalam wawancara bersama Majalah Dewan Rakyat (Malaysia) sebagaimana dikutip buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995).

Pelebaran Jalan

Segala macam ide untuk membangun Jakarta acap kali diterima Ali Sadikin. Ia tak takut dikritik dan mau menerima pendapatan. Dalam hal memperlancar arus lalu-lintas dari kemacetan, salah satunya. Ide pelebaran jalan yang dilanggengkan oleh bawahannya segera disetujui.

Namun, pemerintah DKI Jakarta harus putar otak. Dana yang dimiliki empunya kuasa diakui Ali Sadikin telah teralihkan pada proyek-proyek lainnya. Sedang untuk proyek pelebaran jalan, utamanya yang membutuhkan pembebasan lahan pemerintah DKI Jakarta cukup terbatas.

Ali Sadikin pun mencoba cara persuasi. Ia mencoba melakukan pembebasan lahan tanpa ganti rugi. Karismanya dimanfaatkan untuk itu. Ia mendatangi warga Jakarta yang terdampak proyek satu persatu. Ambil contoh kala proyek pelebaran Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk berlangsung.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin saat menghadiri sebuah acara kontes kecantikan. (Wikimedia Commons)

Pelan-pelan pria yang berjuluk Kennedy dari Timur itu menjelaskan bahwa pelebaran jalan adalah untuk kepentingan bersama. Bukan melulu untuk satu kelompok. Upaya Ali Sadikin membuahkan hasil. Segenap warga Jakarta pun sepakat merelakan sebagian tanahnya untuk pelebaran jalan.

Tiap proses pelebaran selesai, Ali Sadikin tak lupa berterima kasih. Sebagai apresiasi, ia mengundang seluruh pemilik lahan di kediaman gubernur untuk mengikuti suatu acara. Malam Terima Kasih, namanya. Bersamaan dengan itu, dihidangkan hidangan sate dan lontong. Semua senang, semua bahagia.

 “Perbaikan jalan saya bayar dengan sate dan lontong, ucap Ali Sadikin. Keberhasilan gebrakan ini akhirnya menjadi contoh bagi pemerintah kota lainnya dalam melakukan pelebaran jalan tanpa memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan. Meskipun di kemudian hari pemerintah daerah, termasuk DKI Jaya, mematuhi undang-undang untuk memenuhi ketentuan ganti rugi bagi penduduk yang terkena pelebaran jalan,” ungkap staf Ali Sadikin yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1993-1998), Wardiman Djodjonegoro dalam buku Sepanjang Jalan kenangan (2016).