JAKARTA - Tindak-tanduk Soekarno acap kali memancing perhatian banyak orang. Profesor Jan Klopper, terutama. Rektor Pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini: Institut Teknologi Bandung) kerap mendukung Soekarno yang radikal menyuarakan anti-kolonialisme.
Klopper tak keberatan sama sekali. Asal tak mengganggu perkuliahan Bung Karno. Ia pun meminta Soekarno berjanji untuk serius kuliah. Bak seorang gentleman Putra Sang Fajar mengamininya. Ia pun diberikan wejangan wisuda oleh Prof. Klopper: ijazah tak abadi.
Pendidikan pernah jadi barang mahal bagi kaum bumiputra di masa penjajahan Belanda. Tak semua kaum bumiputra dapat mengakses pendidikan ala Belanda. Mereka yang kaya-raya dan berjuang jadi yang paling berpeluang sekolah. Soekarno, misalnya.
Keluarganya harus banting tulang untuk dapat menyekolahkan Bung Karno di pendidikan lanjutan Technische Hoogeschool te Bandoeng. Semua dilakukan supaya Soekarno jadi insan berguna bagi keluarga dan bangsa.
Soekarno pun tak menyia-nyiakan hal itu. kesempatan berkuliah jadi wadah untuknya mempertajam pengetahuan dan berpikir kritis. Ia pun kerap secara terang-terangan melanggengkan narasi anti kolonialisme dan imperialisme.
Keberanian Soekarno menyebarkan ide-ide melepaskan belenggu penjajahan Belanda mendapatkan perhatian banyak orang. Profesor Klopper, apalagi. Sebagai rektor, ia bertanggung jawab atas laku hidup Soekarno selama masih jadi mahasiswa.
Klopper awalnya meminta Soekarno menarik diri dari kegiatan politik. Soekarno tak mau menjanjikan perkara itu. Klopper mengamini. Ia pun mencoba merevisi keinginannya. Ia ingin kuliah Soekarno jangan sampai putus. Hanya itu Janji yang mampu diamini Soekarno. Karena itu, Klopper kagum dengan Soekarno. Begitu pula sebaliknya.
“Prestasiku yang pertama ini menimbulkan kegemparan hebat, sehingga aku segera dipanggil ke kantor Presiden universitas. Kalau engkau ingin melanjutkan pelajaran disini, Profesor Klopper memperingatkan, Engkau harus bertekun pada studimu. Saya tidak keberatan jika seorang mahasiswa mempunyai cita‐cita politik, akan tetapi haruslah diingat bahwa ia pertama dan paling utama memenuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswa.”
“Engkau harus berjanji, mulai hari ini tidak akan ikut campur dalam gerakan politik. Aku tidak berdusta kepadanya. Aku menerangkan persoalanku dengan jujur. Professor, apa yang akan saya janjikan ialah, bahwa saya tidak akan melalaikan pelajaran‐pelajaran yang tuan berikan dalam kuliah. Bukan itu yang saya minta kepadamu. Hanya itu yang dapat saya janjikan, Profesor,” ungkap Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2011).
Ijazah Tak Abadi
Hubungan antara Bung Karno dan Klopper pun semakin dekat. Sekalipun kerap berdebat. Soekarno sering mempertanyakan misi pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Nusantara. Klopper pun tak ragu menjawab setiap pertanyaan Bung karno.
Termasuk tujuan pemerintah Belanda memberi ruang kaum bumiputra mengenyam pendidikan. Menurut Klopper perguruan tinggi yang ada, termasuk Technische Hoogeschool te Bandoeng memuat dominasi pengetahuan yang menguntungkan Belanda.
Namun, Soekarno berpikiran lain. Pendidikan menurutnya harus jadi sarana pembebasan. Klopper pun tak mempermasalahkan pandangan mahasiswanya. Alih-alih Soekarno terjebak melulu dalam agenda politik, Bung Besar itu justru mampu menyandingkan antara perjuangan dan pendidikan.
Soekarno lulus dan wisuda pada 25 Mei 1926. Ia wisuda bersama dengan dua orang kaum bumiputra lainnya. Berkat itu, Soekarno berhak menyandang gelar ingenieur teknik sipil. Bung Karno pun memiliki spesialisasi dalam pengerjaan jalan raya dan pengairan. Walaupun Soekarno lebih suka disebut arsitek.
Sebagai bentuk simpati, Klopper memberikan wejangan wisuda kepada Bung Karno. Sebuah wejangan yang kemudian selalu diingat Bung Karno hingga masa yang akan datang. Klopper menyebut ijazah yang diraih Soekarno tak abadi. Sebab, satu-satunya yang abadi adalah karakter seseorang. Dan Soekarno punya itu.
“Dalam percakapan dengan teman-teman, ia ulang pernyataan rektor sekolahnya, Profesor Klopper, sewaktu suamiku menerima ijazah. Ir. Soekarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu pada satu saat. la tidak kekal. Ingatlah, satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter seseorang. la akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati."
“la mengulangulang kalimat-kalimat itu. Ia tidak melupakannya. Apalagi aku. Kalimat itu sudah jadi peganganku sejak muda. Entah siapa yang mengajarkan begitu kepadaku. Mungkin ibuku, mungkin guru madrasahku. Kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah watak seseorang. Tepatlah kalimat itu,” ungkap istri Soekarno, Inggit Garnasih sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Soekarno: Kuantar ke Gerbang (2014).