Bagikan:

JAKARTA - Penjajahan Belanda adalah periode menyakitkan dalam sejarah Nusantara. Empunya kuasa enggan memberlakukan kaum bumiputra dengan manusiawi. Pun pemerintah kolonial Hindia-Belanda melanggengkan diskriminasi di mana saja.

STOVIA yang dikenal sebagai ‘rumah’ pergerakan nasional tak luput dari diskrimanasi ras. Mahasiswanya dilarang bergaya ala Eropa. Mereka dipaksa menggunakan pakaian daerah masing-masing. Kecuali yang Nasrani. Perlawanan pun meletup karenanya.

Penjajah Belanda tak pernah menganggap kehadiran kaum bumiputra penting. Bahkan, perlakukan itu telah dimulai sejak zaman maskapai dagang Belanda VOC. Tiada hak istimewa yang diberikan kepada kaum bumiputra, sebagaimana orang China diperlakukan.

Kehadiran pemerintah kolonial Hindia-Belanda pun tak banyak mengubah keadaan. Hanya selegelintir kaum bumiputra saja yang diistimewakan. Sisanya, terutama kaum jelata cuma dianggap sebatas ‘mesin’ yang menghasilkan keuntungan belaka. Mereka diperas bak sapi perah. Sedang mereka tak mendapatkan apa-apa.

Ruang kuliah berbentuk amphitheater di STOVIA. (Wikimedia Commons)

Diskriminasi terhadap kaum bumiputra terus langgeng. Bentuknya pun macam-macam. Kaum bumiputra tak dapat mengakses tempat-tempat tertentu di Hindia-Belanda. Apalagi, klub sosial kalangan Eropa seperti Societeit.

Alih-alih boleh masuk, di depan bangunan biasanya sudah terlihat peringatan yang melarang kaum bumiputra mendekat. Begitu pula di pemerintahan. Akses terhadap kaum bumiputra acap kali diperkecil. Kaum bumiputra tak dapat menikmati hidup. Akses air bersih hingga pendidikan bak barang langka saja.

“Keperluan untuk mempertahankan dominasi kolonial itu memaksa penguasa kolonial kecuali mempergunakan kekuatan, juga menyusun cara-cara untuk membenarkan situasi itu dengan ideologi-ideologi seperti ide asosiasi, politik etis, politik sintesis, atau negara Nederland-Raya. Situasi kolonial hendak dipertahankan dengan diskriminasi rasial dan politik nonakulturatif. Garis warna terdapat dalam setiap masyarakat kolonial, yang memisahkan kaum kulit putih dari massa yang berwarna.”

“Seluruh struktur ekonomi, sosial, dan politik didasarkan atas prinsip itu. Semua hubungan bersifat hubungan antara atasan dan bawahan, atau antara superioritas dan inferioritas. Dalam stratifikasi sosialnya, kaum penjajah berada di lapisan atas dan yang dijajah berada di lapisan bawah, dan garis pemisahnya dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai sistem kasta. Hal ini didasarkan atas konsep superioritas ras kaum kulit putih,” ungkap Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2019).

Diskriminasi di STOVIA

Diskriminasi dalam bidang pendidikan tak kalah menyedihkan. Kaum bumiputra yang dapat akses memperoleh pendidikan hanya dari kalangan terbatas – kaum priayi hingga orang kaya. Sedang kaum jelata sulit bukan main mengakses pendidikan.

Di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) apalagi. Sekolah dokter pribumi itu cuma mengizinkan anak priayi rendah untuk masuk. Akan tetapi, status mahasiswa saja bukan garansi terlepas dari perlakuan rasisme. Mereka jadi sasaran empuk rasisme orang Belanda.

Kaum bumiputra dilarang menggunakan setelah Eropa ketika mengikuti perkuliahan jadi contohnya. Mereka yang boleh menggunakan setelan Eropa terbatas kepada kaum bumiputra yang nasrani, atau baru masuk Nasrani. Sedang kaum bumiputra lainnya, dipaksa menggunakan seragam disesuaikan dengan daerah masing-masing.

Peraturan itu dianggap merendahkan kaum bumiputra. Alias, pakaian bak lambang penindasan. Karenanya, rasa nasionalisme di kalangan mahasiswa bumiputra bangkit. Kebangkitan nasional jadi salah satu produk yang lahir dari mahasiswa STOVIA.

Ruang untuk berlatih senam di STOVIA. (Wikimedia Commons)

Kesadaran nasional itu membuat segenap mahasiswa STOVIA bangga dengan pakaian daerah. Tjipto Mangoenkoesoemo, salah satunya. Mahasiswa STOVIA itu bangga mengenakan pakaian daerah. Baginya, pakaian daerah tak ubahnya identitas dan kebanggaan. Pakaian itulah yang kemudian digunakan Tjipto sebagai alat melawan. Beberapa tahun setelahnya STOVIA terpaksa menghapus aturan yang melarang mahasiswa bumiputra mengenakan pakaian Eropa. 

"Aku adalah anak dari rakyat, anak Si Kromo, demikianlah kata-kata pemuda Tjipto tatkala murid-murid STOVIA diwajibkan mengenakan pakaian kebangsaannya atau daerahnya masing-masing. Pakaian daerah Jawa yang dikenakannya bukan lah pakaian yang halus yang lazimnya dipakai oleh para bangsawan atau priyayi, tetapi pakaian gaya rakyat jelata Jawa, yaitu baju tenun Klaten yang amat disukainya, serta ikat kepala serta kain batik yang dikenakan secara sederhana.”

“Warna baju tenun yang amat digemari ialah kehitam-hitaman atau warna ketan ireng, demikianlah masyarakat Jawa menyebutnya atau warna hitam dengan motif garis-garis. Pemuda Tjipto amat senang dan bangga berpakaian semacam itu karena sengaja disesuaikan dengan pernyataan-pernyataannya, "Aku adalah anak dari rakyat, anak Si Kromo. Sebagai pejuang yang membela bangsanya, pemuda Tjipto merasa sungguh-sungguh senasib-sependeritaan dan satu dengan bangsanya, rakyat yang tertindas,” terang Soegeng Reksodihardjo dalam buku DR. Cipto Mangunkusumo (1992).