Membokongi Penghormatan Belanda dan Kritik Nyeleneh Lain Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo
Tjipto Mangoenkoesoemo (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Tjipto Mangoenkoesoemo adalah nama harum dalam sejarah kebangkitan nasional. Kiprah Tjipto begitu besar bagi Tanah Air. Ia dikenal sebagai dokter handal juga ksatria yang memerangi pemerintah kolonial Belanda. Baginya, tak ada kompromi untuk kolonialisme. Sikap merdeka itu telah tertanam sejak Tjipto menjadi dokter. Utamanya untuk mengobati “penyakit” kolonial dengan “semangat perlawanan” yang revolusioner. Jauh melampaui zaman.

Tjipto lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 1886. Ia anak tertua dari sebelas bersaudara. Ayahnya adalah pegawai rendah pemerintah yang juga pernah bekerja sebagai guru bahasa Melayu. Tjipto lahir dalam keluarga yang menghargai pendidikan yang membuat sebelas bersaudara itu –termasuk Goenawan dan Budiardjo— mampu mengenyam pendidikan tinggi.

Lewat pendidikan, Tjipto tumbuh menjadi insan merdeka, kritis, nan cerdas. Hal itu dibuktikannya sedari menjadi mahasiswa di sekolah pendidikan dokter bumiputra, School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Di STOVIA Tjipto banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku dan berpikir.

Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Ernest Douwes Dekker (Sumber: Wikimedia Commons)

Ketika yang lain mencoba memantaskan diri dengan kehidupan ala penjajah ataupun priayi, Tjipto nyaris tak tergoda. Ia selalu menjauhkan diri dari gaya hidup macam itu. Tjipto justru terpesona oleh rasa keadilan. Tjipto kemudian dengan mudah menuntaskan pendidikannya di STOVIA pada 1905.

“Setelah tamat STOVIA, Tjipto menjadi dokter. Tidak lama kemudian, timbul wabah (pes) di daerah Malang, Jawa Timur. Tjipto menawarkan jasanya sebagai sukarelawan, untuk memberantas wabah tersebut. Berkat bantuannya itu, Tjipto mendapat penghargaan dari orang Belanda di Pulau Jawa,” ujar Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (1992).

Bukan main-main. Tanda jasa yang didapat Tjipto adalah Ridderkruis of the Oranje-Nassau Order pada 1912. Anugrah Ratu Belanda Wilhelmina itu diberikan kepada Tjipto atas keberaniannya memasuki pelosok-pelosok desa di Malang guna membasmi pes. Lebih lagi, Tjipto tak menggunakan masker atau tutup hidung dan mulut. Sikapnya berbeda dengan banyak dokter lain menangani wabah. Namun perhargaan itu ditolak mentah-mentah oleh Tjipto.

Oranje-Nassau Order (Sumber: Commons Wikimedia)

“Dari sinilah muncul dua nama yang kekal dalam sejarah kebangkitan Indonesia —dua orang yang ta sesopan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan sengaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pantat sebagai protes,” tulis Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul B.O. (2008).

Protes itu jadi bentuk humor besar berbalut kritik pada penguasa kolonial. Apalagi, Tjipto membawa bintang emas itu ke Batavia untuk dikembalikan kepada si pemberi. Bintang itu lalu ditaruh Tjipto di dekat pantat. Alhasil, jika serdadu yang harus hormat pada anugerah Ratu Belanda Wilhelmina, maka si serdadu harus hormat kepada bokongnya Tjipto.

Kritik “nyeleneh” Tjipto

Sindiran Tjipto kepada penjajah Belanda tak dilakukan sekali saja. Di berbagai kesempatan, Tjipto yang bersifat impulsif, emosional dan radikal sering kali tak mau mendengarkan atau mematuhi larangan pemerintah Belanda.

Dalam hatinya, Tjipto meyakini seluruh larangan itu adalah bentuk penghinaan kepada kaum bumiputra. Seolah-olah kaum bumiputra adalah budak di rumah mereka sendiri. Ogah dia kompromi pada Belanda. Dengan cara yang cenderung nyeleneh, Tjipto terus melakukan perlawanan.

Keberanian Tjipto menembus eksklusivitas Societeit –-tempat pesta Belanda kaya raya-- adalah salah satunya. Dalam sejarahnya, Societeit hanya dapat dimasuki oleh orang Eropa kaya dan sangat kaya. Belanda miskin dan kaum bumiputra dilarang masuk.

Tapi, Tjipto memberanikan diri untuk masuk Societeit yang penuh orang belanda. Meski begitu, Tjipto tak tampil dengan dandanan khas Eropa. Tjipto justru menggunakan pakaian khas Indonesia, seperti kain batik dan jas lurik tenunan Klaten.

“Karuan saja seluruh Gedung Sociteit ribut karena kemasukan seorang inlander (pribumi) yang dianggap kurang ajar. Segera diperintahkan seorang opas (penjaga) untuk mengusir Tjipto keluar dari gedung. Maka dengan lantangnya Cipto memaki-maki opas serta orang-orang yang ada di dekatnya dengan bahasa Belanda yang fasih. Maka tercengang-cenganglah mereka karena terpengaruh oleh kewibawaan Tjipto. Demikianlah antara lain cara Cipto melakukan protes terhadap politik perbedaan ras,” ungkap Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (1992).

“Kekurangajaran” Tjipto kepada pemerintah kolonial semakin jadi. Tjipto yang tak kenal takut pernah sengaja datang ke sebuah stasiun kereta api. Di saat kereta khusus untuk orang kulit putih datang, Tjipto kemudian membeli karcis kereta tersebut. Singkat cerita, tiket itu diberikannya kepada seorang pengemis. Setelah pengemis masuk, karuan teriakan-teriakan noni-noni dan sinyo Belanda langsung terdengar.

Bahkan, dalam satu waktu Tjipto berani mengendarai keretanya di depan halaman Istana Kasunanan Surakarta, yang saat itu kaum bumiputra dilarang keras mengendarai kereta kuda. Langkah itu dilakukan Tjipto sebagai bentuk kebenciannya terdapat sistem kolonialisme dan feodal.

“Dia mengemudikan kereta kudanya di depan halaman istana sultan, karena hanya sultan dan putri yang dibolehkan berjalan di sana pada waktu itu,” imbuh Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Tak hanya lewat tindakan, Tjipto juga terhitung aktif dalam menyampaikan kritik melalui tulisan. Tulisan Tjipto kala itu banyak memenuhi surat kabar lokal. Tjipto, sebagaimana yang diungkap oleh Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (1985).

Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Ernest Douwes Dekker dan sejumlah tokoh lain (Sumber: Wikimedia Commons)

Hadi Soewito menganalisis gaya bahasa Tjipto yang sangat menarik kala mengkritik. Tulisannya meyakinkan pembaca. Kalimatnya pendek, ringkas, dan berisikan kata-kata yang dipilih secara tepat.  Tak berbelit-belit dan mudah dimengerti. Saat mengkritik sifat patuh orang Jawa, misalnya. Saat itu Tjipto menganalogikan sikap patuh orang Jawa sebagai “penyakit.”

Maka, kata Tjipto “obatnya” cuma satu: semangat perlawanan. Tjipto menjadikan Pangeran Jawa Diponegoro sebagai contoh orang Jawa yang berani melawan Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). Perlawanan Diponegoro, kata Tjipto menyiratkan makna bahwa orang Jawa dapat memutus mitos sifat selalu patuh yang cenderung berucap “ya” atau “amin.” Tijpto mendorong agar kalimat-kalimat itu diganti menjadi "lawan!"

“Ia (Diponegoro) memang gagal. Tetap saya pikir Anda seperti juga saya, tidak boleh menilai kerja orang semata dari keberhasilannya. Di samping itu, memang bukan maksud saya menilai ketangguhan Diponegoro. Saya hanya mau menunjukkan bahwa kebalikan dengan apa yang dipercaya beberapa orang-orang Jawa itu, sebenarnya punya dasar etika yang dalam, suatu dasar untuk membangun sumber moral yang mestinya membuat kita optimis akan kemungkinan bangkitnya zaman keemasan kita,” cerita Tjipto dalam esainya yang berjudul Lets over den Javaan yang berarti "Beberapa Catatan tentang Orang Jawa" (1913).

MEMORI Lainnya