Memori 8 Maret 1943: Pahlawan Nasional, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo Meninggal Dunia di Batavia
Pahlawan Nasional, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. (Foto: Dok. Arsip Nasional)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 79 tahun yang lalu, 8 Maret 1943, tokoh pergerakan nasional yang juga pejuang kemerdekaan Indonesia, Tjipto Mangoenkoesoemo meninggal dunia di Batavia. Kepergian dirinya membawa duka yang mendalam bagi segenap kaum bumiputra. Keberaniannya melawan Belanda lewat mimbar politik tak perlu dilakukan. Pun perlawanan yang dilakukan olehnya telah dilakukan sedari dulu hingga akhir hayatnya. Baginya, tiada tempat bagi kolonialisme di Nusantara.

Sosok yang acap kali dipanggil Soekarno, Om Tjip ini lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 1886. Ia anak tertua dari sebelas bersaudara. Ayahnya adalah pegawai rendah pemerintah yang juga pernah bekerja sebagai guru bahasa Melayu. Tjipto lahir dalam keluarga yang menghargai pendidikan yang membuat sebelas bersaudara itu mampu mengenyam pendidikan tinggi.

Jalur pendidikan buat Tjipto tumbuh menjadi insane merdeka, kritis, nan cerdas. Kemampuan itu yang mendorongnya untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah pendidikan dokter bumiputra, School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Sekolah dokter itu jadi medium baginya belajar banyak hal.

Patung Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo berdiri di tengah kota Ambarawa, Jawa Tengah. (Foto: ambarawa.id)

Ia acap kali melihat perbedaan perlakukan antara kaum bumiputra dan orang Eropa. Karenanya keberpihakan kepada kaum bumiputra semakin mengemuka dalam diri Tjipto. Segala macam godaan hidup ala priayi tak dipedulikannya. Ia tak mau bermewah-mewah. Apalagi foya-foya.

Ia pun lulus menjadi dokter bumiputra tanpa gangguan berarti pada 1905. Kepekaan terhadap kaum bumiputra semakin terlihat kala Tjipto menjadi sukalerawan yang ikut memerangi wabah pes di Malang. Keterlibatan Tjipto beralasan. Banyak dokter Belanda yang enggan terjun ke pelosok negeri. Di situlah jiwanya terpanggil untuk membantu.

Duduk: Tjipto, Ernest Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat. (Foto: Wikimedia Commons)

“Setelah tamat STOVIA, Tjipto menjadi dokter. Tidak lama kemudian, timbul wabah (pes) di daerah Malang, Jawa Timur. Tjipto menawarkan jasanya sebagai sukarelawan, untuk memberantas wabah tersebut. Berkat bantuannya itu, Tjipto mendapat penghargaan dari orang Belanda di Pulau Jawa,” ujar Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (1992).

Bukan main-main. Tanda jasa yang didapat Tjipto adalah Ridderkruis of the Oranje-Nassau Order pada 1912. Anugrah Ratu Belanda Wilhelmina itu diberikan kepada Tjipto atas keberaniannya memasuki pelosok-pelosok desa di Malang guna membasmi pes.

Lebih lagi, Tjipto tak menggunakan alat pelindung diri berarti. Sikapnya berbeda dengan banyak dokter Eropa menangani wabah. Kebanyakkan dokter Eropa tak mau terjun ke pelosok. Namun perhargaan itu ditolak mentah-mentah oleh Tjipto.

“Dari sinilah muncul dua nama yang kekal dalam sejarah kebangkitan Indonesia —dua orang yang tak sesopan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan sengaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pantat sebagai protes,” tulis Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul B.O. (2008).

Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting Salemba, yang sekarang menjadi RS Cipto Mangunkusumo di Jakarta. (Foto: Wikipedia)

Geramnya Tjipto pun berlanjut. Ia memilih keluar dari organisasi Budi Utomo yang dianggapnya semakin mengeksklusifkan diri. Ia bersama kawannya Ernest Douwes Dekker, dan Soewardi

Soerjanigrat (kemudian dikenal: Ki Hajar Dewantara) membentuk Indische Partij 1912. Sebuah partai politik yang bertujuan  membangun patriotisme bagi semua golongan rakyat Hindia Belanda terhadap tanah air. Ketiganya kemudian dijuluki tiga serangkai.

Perjuangan politik Indische Partij membuat tiga serangkai diasingkan ke Belanda. Tensi perlawanannya tak menurun. Ketiga tetap menggalang dukungan di Belanda. Namun, karena masalah kesehatan Tjipto terpaksa diasingkan ke Banda Neira. Ia tak lelah berjuang dipengasingan saja, Tjipto menjadi mentor utama Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Pun kemudian menjadi mentor Soekarno.

“Ia sama kompleksnya dengan Soewardi, tetapi dari sisi yang berbeda. Kalau dalam kehidupannya Soewardi beralih dari satria ke pandita, tjipto benar-benar seorang satria dalam seluruh hidupnya.”

“Bila Soewardi jebolan sekolah dokter kemudian menjadi pemuda radikal dengan sebuah artikel, Tjipto Mangoenkoesoemo berpraktek sebagai dokter dan pemberontak (sebutan Belanda) tak sabar yang tak dapat menahan diri memperlihatkan kejijikannya pada kekuasaan dan kemegahan, bahkan sebelum ia memulai karier politiknya,” tutup Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).