Sejarah Hari Ini, 7 Maret 1943: Patung Jan Pieterszoon Coen di Batavia Dihancurkan Jepang
Patung Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen saat masih berdiri di Lapangan Singa, Batavia. (Foto:

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 79 tahun yang lalu, atau tepatnya 7 Maret 1943, patung ikonik Jan Pieterszoon Coen era penjajahan Belanda di Batavia dihancurkan oleh Jepang. Patung yang berlokasi Lapangan Singa (kini: Lapangan Banteng) dihancurnya sebagai siasat mengambil hati kaum bumiputra. Siasat itu jitu. Kaum bumiputra banyak berpihak pada Jepang. Sebab, kaum bumiputra sudah kepalang benci dengan penjajah Belanda. Coen apalagi. Ia adalah orang yang meletakkan dasar kolonialisme di tanah Nusantara.

Coen adalah salah satu nama yang paling kesohor dalam lembar sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Pria yang menjabat Gubernur Jenderal VOC dua kali,1619-1623 dan 1627-1629, digadang-gadang sebagai sosok yang paling berhasil membawa VOC.

Ia juga yang melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Coen adalah pahlawan bagi penerusnya. Euforia itu bahkan berlanjut sekalipun Coen telah meninggal pada 21 September 1629. Bahkan, hingga ratusan tahun setelahnya. Pembuatan patung Coen di Lapangan Singa adalah salah satu bentuknya.

Suasana peresmian patung Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszoon Coen, di Lapangan Singa, Batavia pada 29 Mei 1869. (Foto: Wikimedia Commons)

Patung setinggi 4,10 meter itu langsung menjelma jadi ikon Batavia. Pemerintah kolonial yang membangun patung sungguh yakin kehadiran ikon baru tersebut akan membuat orang-orang Belanda terus mengingat kiprah dari pendiri Batavia, Coen. Tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Adolf Heuken menyebut supaya terlihat garang, pendirian patung dibuat meniru pose patung seorang Raja Swedia, Gustav Adolf.

Patung Coen lalu diresmikan bertepatan dengan hajatan ulang tahun Batavia ke-250 pada 29 Mei 1869. Hajatan yang digelar selama tiga hari itu dengan meriahnya. Segala macam kebutuhan pesta beberapa di antaranya didatangkan dari Eropa. Karenanya, kesan mewahnya dapat terasa.

Pun ketika malam hari menjelang. Pesta dansa di klub eksklusif Societeit de Harmonie selalu ramai pengunjung. Mereka benar-benar larut dalam kebahagiaan sambil berterima kasih kepada pendahulunya, Coen.

 “Pesta pora itu berlangsung tiga hari, siang dan malam. Banyak barang keperluan khusus sengaja didatangkan dari Belanda. Sebagai penutup diadakan pesta dansa bertopeng (gekostumeerd). Ruangan di Gedung Harmonie dihiasai lampu khas Venesia, permadani Persia, mebel mewah dari Eropa, kain hiasan dinding, serta karangan bunga dan tanaman tropis. Di dalam, disiapkan 40 meja, masing-masing untuk 12 orang,” ungkap Zaenudin HM, dalam buku Kisah-kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe (2016).

Namun, eksistensi patung itu harus berakhir pada masa penjajahan Jepang. Penyingkiran hal-hal yang berbau Belanda jadi fokus utama Jepang pada awal kekuasaannya. Empunya kekuasaan mulai melarang penggunaan Bahasa Belanda, mengganti nama ruas jalan, nama Batavia menjadi Jacatra, dan membongkar sejumlah patung. Khususnya, patung Coen.

Lukisan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen. (Foto: Wikimedia Commons)

Semua itu dilakukan Jepang untuk mengambil hati kaum bumiputra. Yang mana, kaum bumiputra sudah kepalang benci dijajah dan diperas oleh Belanda selama ratusan tahun. Maka saat Jepang masuk, orang-orang Belanda di Indonesia malah menempati strata terendah dalam masyarakat.

“Tindakan yang pertama-tama yang dilakukan Jepang antara lain ialah penurunan patung Jan Pieterszoon Coen. Jan Pieterszoon Coen merupakan lambang Kota Jakarta dan lambang kekuasaan kolonial, karena Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri kota Batavia,” tulis Sutoyo dkk dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978).