JAKARTA - Hari ini 83 tahun yang lalu, atau tepatnya 5 Maret 1939, seniman legendaris Indonesia, Benyamin Sueb lahir di Batavia (Jakarta). Semasa hidupnya, pria yang akrab disapa Bang Ben dikenal serba bisa. Ia dapat merangkap segalanya. Dari penyanyi, aktor, hingga pelawak. Semua itu karena keberanian Benyamin dalam mendobrak pasar. Idealismenya itu berbuah manis. Namanya dikenal di mana-mana. Bahkan, pendukung bahasa Betawi meningkat karena Bang Ben.
Benyamin Sueb lahir di Kampung Utan Panjang, Kemayoran, Batavia. Ia terlahir dalam keluarga yang sederhana, jika tak boleh dikatakan miskin. Namun Benyamin beruntung, ia hidup di tengah keluarga seniman. Kakeknya, Haji Ung dikenal sebagai seniman kawakan. Karenanya, bermusik telah menjadi kegiatan sehari-hari Bang Ben sejak kecil.
Bakat itu semakin terasa ketika ia membentuk grup musik bersama abang-abangnya. Keleng Rombeng, namanya. pemberian nama itu tak lain karena grup musik yang diciptakan benyamin menggunakan barang bekas sebagai alat musik: drum minyak, kaleng biskuit, hingga kotak obat. Grup musik itu semakin mendekatkan Bang Ben dan musik.
Boleh jadi Bang Ben dan musik adalah kedua hal yang tak bisa dipisahkan setelahnya. Sekalipun Bang Ben harus bertarung dengan ganasnya hidup mencari rejeki di Jakarta, musik tak pernah ditanggalkan. Saban hari ia acap kali manggung di ragam tempat di Ibu Kota. Manggung di Hotel Des Indes, salah satunya.
Lagu yang sering dimainkannya adalah lagu pop barat dan Belanda. Meski tak berlangsung lama. Pelarangan lagu “ngak-ngik-ngok” oleh Presiden Soekarno pada 1965 jadi muasalnya. Tak disangka Bang Ben akhirnya memilih musik Betawi: gambang kromong. Lagu ciptaannya Nonton Bioskop tercipta pada 1960-an.
“Benyamin tak patah arang. Sejak peristiwa itu, ia memutar otak. Sebagai jalan keluarnya, ia menyanyikan lagu-lagu khas Betawi dengan iringan musik gambang kromong. Kalau tidak ada larangan Bung Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu Betawi, katanya. Perlahan tapi pasti, namanya meroket sebagai penyanyi khas gaya Betawian.”
“Lagu-lagunya jenaka. Caranya menulis lagu, yang bişa lahir di mana saja, mungkin dapat jadi gambaran bahwa orang ini telah berusaha tampil apa adanya. Kekasaran dalam lirik-liriknya, irama yang ditemukannya, dan kadang kala kesentimentilan yang mencuat keluar dari lagu-lagunya, di samping merupakan ekspresi yang jujur juga merupakan satu cara supaya bisa komunikatif,” ungkap Nurdin Kalim dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Potret Benyamin Apa Adanya (2005).
Pun lagu itu membawanya berkembang pesat di dunia hiburan tanah air. Benyamin Sueb lalu dapat mencicipi karier sebagai aktor hingga pelawak. Gaya aktingnya yang spontan membuat khalayak banyak menyukai karya-karya Bang Ben. Bahkan, penggemar Bang Ben tak cuma di dalam negeri saja. Tapi juga dari luar negeri. Brunei dan Malaysia, misalnya.
Ketenaran itu juga membawa berita gembira bagi masyarakat Betawi. Bahasa Betawi yang selalu jadi ajian Bang Ben dalam berkarya dapat diterima di seluruh penjuru negeri. Sebab, orang-orang yang mendengar atau menonton filmnya merasa dibebaskan. Puncaknya, popularitas bahasa Betawi meningkat tajam.
“Namun daya dobrak paling kuat datang dari penyanyi dan pelawak Benyamin Sueb yang mulai berkiprah tahun 1960-an, Kemudian dari sinetron Si Doel akhir tahun 1990-an. Tanpa sungkan ia mengungkapkan segala ekspresi Betawi dalam dalam lagunya, mulai dari masalah nginjek gituan, sampai dengan kisah lagi mare ditabrak aje. Tidak ada yang tabu di mata Benyamin, semua didobrak. Orang lantas merasa dibebaskan, sehingga pendukung bahasa Betawi semakin luas,” tulis Ridwan Saidi dalam buku Ketoprak Jakarta (2001).
Benyamin Sueb meninggal dunia di Jakarta pada 5 September 1995 akibat serangan jantung saat bermain sepak bola. Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan utama di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat.