Kritik Jenaka Benyamin Sueb pada Nafsu Pembangunan
Benyamin Sueb (YouTube)

Bagikan:

Tung alang-alang

Anak kodok di pinggir kali

Rumah semate wayang

kena gusur kemane lagi

JAKARTA - Begitulah penggalan lirik lagu dari tokoh sekaligus seniman betawi, Benyamin Sueb yang berjudul Digusur. Karya itu membuktikan jauh sebelum nama Iwan Fals mencuat lewat lagu-lagu beraroma kritik pada 1980-an, Benyamin yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939 sudah lebih dulu mengkritik lewat musik.

Tema-tema yang di angkat oleh Bang Ben --sapaan akrabnya-- tak melulu berisi tentang kekonyolan sehari-hari yang terkesan sepele. Apalagi, semua orang paham, Benyamin selalu punya konsep untuk mengkritik sesuatu yang dianggapnya patut digoyang.

Kala ditelusuri, bakat seni yang mengalir dalam darah Bang Ben berasal dari sang kakek dan nenek, Haji Ung dan Saiti. Dahulu, Haji Ung sering mentas sebagai pemain teater rakyat pada zaman kolonial. Sedangkan neneknya, Nyak Saiti sebagai peniup klarinet.

Hasrat itu menurun kepada Bang Ben, bahkan sejak ia berusia 7 tahun. Di usia itu, Bang Ben bersama tujuh orang kakaknya membentuk kelompok musik bernama Orkes Kaleng. Bukan asal kasih nama. Nama Orkes Kaleng diambil karena seluruh instrumen musik yang digunakan band tersebut adalah barang bekas.

Rebab dari kotak obat, stem bass dari kaleng drum minyak besi, hingga keroncongnya yang dibuat dari kaleng biskuit. Memang dasar para talenta murni. Dengan alat musik seadanya, mereka dengan lihai memainkan dan selalu berhasil tampil menawan membawakan lagu-lagu Belanda tempo doeloe.

Namun, ketika musik barat mulai dilarang di pemerintahan Presiden Soekarno --berbarengan masa konfrontasi dengan Malaysia pada awal 1960-an, Bang Ben melihat peluang bahwa lagu berirama dan berbahasa Betawi bisa mengambil tempat di hati masyarakat.

Hal itu dikarenakan Bang Ben melihat ramuan yang sama nyatanya berhasil terhadap lagu-lagu Minang yang kemudian mendapat tempat di masyarakat Indonesia. Bang Ben pun tertantang. Ia mulai menciptakan satu demi satu lagu betawi. Hasilnya, apresiasi tinggi ia dapat. Ya, walaupun tak banyak juga cibiran pada syair nyeleneh dan ngocol yang ia suarakan.

Tahun 1968 jadi titik yang membuat Bang Ben semakin bersinar di dunia musik yang identik dengan gambang kromong --kesenian khas Betawi-- itu. Saat itu, Bang Ben diminta langsung oleh Bing Slamet untuk menyerahkan lagu ciptaannya yang berjudul Nonton Bioskop ke studio Dimita Records.

Di sanalah salah satu lagu termasyhur di negeri ini lahir dalam bentuk rekaman audio. Menurut banyak testimoni kala itu, karier moncer Bang Ben di dunia tarik suara turut didorong oleh banyaknya kritik jenaka yang ia sisipkan dalam syair-syair lagunya.

Mendengar lagu Bang Ben adalah kombinasi cantik dari luasnya wawasan, kejenakaan, sekaligus ketegasan sikap dan jernihnya sudut pandang. Di sepanjang kariernya, Bang Ben berhasil menelurkan 75 album musik dan bermain dalam 53 judul film.

Sejarawan JJ Rizal turut bicara soal kebesaran Bang Ben. “Tokoh seperti Ben cuma lahir seabad sekali, seperti juga Pramoedya dalam dunia kepenulisan kita,” kata JJ Rizal kepada VOI, Rabu, 4 Maret.

Kritik pada penggusuran

Dari banyaknya problema yang Benyamin kritik, isu penggusuran jadi salah satu yang paling menarik disimak. Kegemaran membaca buku dan mendalami filsafat membuat sensitivitas dan empati Bang Ben terasah. Bang Ben mudah resah kala mencium ketidakadilan, terutama yang menimpa orang betawi.

Ada satu periode yang dimulai tahun 1949, di mana kemarahan Bang Ben pada nafsu pembangunan memuncak. Saat itu, satu per satu Kampung Betawi mulai digusur. Dimulai dengan Kampung Betawi di Kebayoran Baru seluas 730 hektare yang diubah menjadi pemukiman baru seluas 730 hektare.

Setelahnya, kampung yang menjadi korban gusuran adalah Senayan. Dikutip dalam buku Betawi Tempo Doeloe (2015) karya Abdul Chaer, penggusuran di Senayan melibatkan 1.688 rumah, kios, kandang ternak, serta penebangan 700.000 pohon yang ada di Kampung Balur, Kampung Senayan, Petunduan, dan Penjompongan. Penggusuran ini dilakukan untuk pembangunan kompleks olahraga.

Korban gusuran ini diberi pengertian dan ganti rugi oleh pemerintah pusat. Sekitar 60 ribu jiwa warga Kampung Senayan dipindahkan ke Tebet, Slipi dan Ciledug sebagai kompensasi penggusuran ini. Atas realita itu, Benyamin tak tinggal diam. Kritikan terkait hal itu tak hanya dituangkan dalam bermusik. Lewat seni peran Bang Ben seringkali melempar keritikan beberapa diantaranya hadir lewat rumah produksi PT Benyamin Bina Bersaudara, yang memproduksi sinetron betawi, Mat Beken.

Dalam Mat Beken, selain Bang Ben menjadi pemeran utama, dirinya pun bertindak sebagai penulis skenario. Olehnya, satire tentang penggusuran dihadirkan pada pembukaan episode pertama lewat dialog enyak dan babe Si Mamat alias Mat Beken.

Adegan dimulai saat Babe dan Enyak sedang santai di teras rumah pada pagi hari. Babe kemudian berucap, "Alhamdulillah, waktu kita terima duit gusuran, untung kita beli kebon di sini, mudah-mudahan aja deh, rumah kita ini jangan sampai kena gusur lagi," kata Babe. “Iye, bang, aye juga udah pegel pindah-pindah melulu kayak kucing beranak ... Kalau kita ingat dulu di Senayan kita kena gusur, pindah ke Tebet. Nah, sekarang ke sini, dah. Jangan-jangan nih kita bisa kegusur ke gunung sono,” ucap enyak.

Meski di situ Bang Ben tak tampil dengan celetukannya, perannya sebagai penulis skenario yang mampu meramu kritikan tentang penggusuran patut diapresiasi. Terkait kritik yang dirinya sendiri berperan sebagai tokoh utama yang memberi kritikan penggusuran hadir lewat serial Si Doel Anak Sekolahan (1994–2006). Serial itu diperankan juga oleh nama besar sekaligus tokoh Betawi lainnya seperti Rano Karno dan Mandra.

Satire soal penggusuran Senayan ini diceritakan ketika Kasdulah (Si Doel) baru diwisuda sebagai insinyur. Bang Ben yang berperan sebagai ayah Si Doel sempat berjanji ketika anaknya jadi insinyur, ia akan berkunjung ke bekas kampung leluhurnya. Pergilah mereka menggunakan opelet menuju Senayan, tepatnya ke Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Mereka datang ke sana dengan sadar diri, tanah yang mereka injak sudah bukan milik mereka lagi. Meski tampak enggan masuk ke stadion, si Doel diingatkan oleh babenya, "gue cuma mau ngajak lu biar lu tahu bahwa di sini bekas tanah leluhur lu," kata Bang Ben.

Kunjungan itu harus berakhir cepat, sebab mereka duduk di area lapangan saat orang-orang sedang berlatih sepak bola. Dan saat itu juga muncul lah ocehan ikonik dari Benyamin Sueb terkait tim nasional Indonesia, “latihan mulu, menangnya kagak!”

Kiranya, begitulah Bang Ben dengan tampang sederhana, penuh kepolosan, dinilai cap kampung, hingga penuh spontanitas mengisi memori orang-orang di Indonesia, khususnya orang Betawi lewat karyanya.

Sehingga, segenap yang menonton, mendengarkan, atau menyaksikan langsung saat dirinya bermain musik maupun menggeluti seni peran, semua orang akan satu suara dalam memberi label kepada beliau sebagai, Sang legenda.