Benyamin Sueb Memotret Jakarta Lewat Lagu Kompor Meleduk
Kover album musik Kompor Meleduk produksi PT. Remaco (iramanusantara.org)

Bagikan:

JAKARTA - Benyamin Sueb adalah sosok yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Pria yang akrab disapa Bang Ben acap kali tergugah dengan fenomena kehidupan yang terjadi di kampung halamannya: Betawi. Segala macam problema ia rekam dengan memanfaatkan medium musik.

Lagunya berjudul Kompor Meleduk jadi contoh. Liriknya sederhana. Mahakarya itu setidaknya merekam tiga bencana yang kerap jadi masalah orang Jakarta. Kebakaran, banjir, dan lingkungan hidup. Istimewanya, lagu itu masih relevan hingga kini.

Musikalitas Benyamin Sueb tak perlu diragukan. Segala macam genre pernah dijajalnya. Pun segala macam permasalahan hidup sering dilagukan. Dari urusan janda sampai kritik sosial. Itulah yang membuat sosok Benyamin memiliki nilai yang berbeda dengan seniman lainnya. Kesederhanaan dan kedekatan materi lagu jadi kuncinya.

Benyamin tak pernah mengambil tema-tema yang elitis untuk karyanya. Ia hanya sering kali memotret permasalah harian warga Betawi dan Jakarta dalam kehidupan. Semuanya dituturkan Benyamin dengan sederhana. Khas orang Betawi bertutur: apa adanya. Ia melihat penggusuran, maka jadi lagu kritik terkait penggusuran. Demikian pula dengan tema-tema lainnya.

Benyamin pun tak lupa membungkus lagu kritik lewat humor. Sentilan-sentilan dalam bentuk kelakar itu nyatanya dapat diterima masyarakat luas. Lagunya digemari orang banyak. Bahkan, penggemarnya tak terbatas di Jakarta saja, orang-orang di luar negeri juga ikut menggemarinya.

Benyamin Sueb. (Wikimedia Commons)

Sastrawan Putu WIjaya menganggap tiada keraguan terkait kedekatan Benyamin dengan Jakarta. Ia mampu menggambarkan segala problema Kota Metropolitan dengan gamblang nan jujur. Penggemarnya pun banyak tercerahkan.

Mereka tak hanya menyadari bahwa ada yang tak beres dengan kebijakan pemerintah, tapi juga mengajak penggemarnya untuk menertawakan sejenak keadaan yang kacau-balau. Hal itu menjadi suatu level tertinggi dalam berkarya.   

“Menurut Putu Wijaya, Benyamin tidak berjalan dengan target seperti kata orang sebagai kepedulian sosial. Benyamin sayang dan dekat dengan lingkungannya. Apakah dia punya kepedulian sosial? Mungkin, Benyamin tidak peduli. Dia tidak peduli dengan istilah kepedulian sosial. Tapi, dia peduli dalam tindakan. Artinya, tidak peduli dengan sloganistik. Kalau kaum intelektual biasanya sloganistik sekali.”

“Benyamin memang berada di sana, dan dia memakai bahasanya. Namun, orang menerjemahkan hal itu adalah sebuah kepedulian sosial. Benyamin biasa dan alami saja. Dia mempunyai lingkungan seperti itu, dan diekspresikan apa yang ada padanya dan tidak dibuat-buat. Beda dengan kaum intelektual yang tak peduli, tapi memakai bahasa yang kaku. Benyamin memakai bahasa yang begitu lancarnya. Kata-katanya luar biasa sekali. Saya tidak tega kalau mengatakan dia memiliki kepedulian sosial. Dia sudah di luar itu, karena dia sudah itu-nya sendiri,” tulis Ludhy Cahyana dan Muhlis Suhaeri dalam buku Benyamin S: Muka Kampung Rezeki Kota (2005).

Kompor Meleduk

Potret permasalahan Jakarta tak sedikit. Statusnya sebagai Ibu Kota Indonesia membawakan narasi kehidupan yang begitu kompleks. Masalahnya apalagi. Benyamin pun tak tinggal diam. Ia merasa permasalahan Jakarta harus disuarakan.

Kemunculan lagu Kompor Meleduk pada 1970, misalnya. Lagu itu meneropong tiga masalah yang saban hari menerpa Jakarta: banjir, kebakaran, dan lingkungan hidup. Ketiga masalah itu dianggap Benyamin Sueb saling berhubungan.

Kurang perhatian pemerintah terhadap lingkungan hidup Jakarta kerap jadi petaka. Bahkan, kondisi itu sudah terjadi sejak zaman Belanda. Banjir dan kebakaran (karena padat penduduk) adalah buah dari abainya penguasa menjaga lingkungan hidup.

Sederet permasalah itu dianggapnya menambah daftar kesulitan hidup di Jakarta. Padahal, Jakarta sendiri adalah ‘muka’ Indonesia. Atau dalam bahasa Bung Karno, Jakarta adalah mercusuar peradaban bangsa.

“la anak Betawi yang hidup di tengah perubahan kota Jakarta. Perubahan kota membawa kebaikan tetapi juga dampak terhadap lingkungan hidup dan manusia itu sendiri. Perubahan kota Jakarta sebagai ibu kota negara sangat cepat. Kompor Meleduk memotret ukuran kecil dari dampak buruk perubahan. Kepadatan pemukiman membuat rawan kebakaran.”

“Selokan mampat tidak lagi dapal menampung aliran air sehingga meluap. Dalam bencana perkolaan itu, ia lidak lantas panik. Sebagai saksi perubahan, Benyamin S. masih menjaga kesadarannya untuk menenangkan penduduk dalam mengalasi masalah kebakaran, kebaniran, dan lingkungan hidup,” kata Alhafiz Kurniawan dalam tulisannya di Majalah Surah berjudul Bang Ben: Penonton yang Pemain Perubahan Kota Jakarta (2013).

Benyamin Sueb, seniman besar Indonesia yang sukses mengangkat budaya Betawi melalui seni peran maupun seni musik. (Wikimedia Commons)

Istimewanya album dan lagu yang berjudul Kompor Meleduk itu laris-manis di pasaran. Sekalipun tak sedikit yang menganggap lagu itu kampungan. Justru itu lagu Benyamin Sueb yang dianggap kampungan malahan sering kali dibajak di banyak tempat.

Kelebihan itu karena banyak orang yang merasa terwakilkan dengan lagu Kompor Meleduk. Bahasa sederhana dan masalah yang menahun jadi rumusan kepopuleran lagu. Orang-orang pun dapat mengenang lagu Kompor Meleduk dalam penggalan liriknya yang sederhana. Pun lirik itu masih relevan hingga hari ini.

Aah! Nyak banjir!

Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk

Rumeh ane kebakaran gare-gare kompor mleduk

Ane jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet

Rumah ane kebanjiran gara-gara got mampet

Ati-ati kompor meledug

Ati ane jadi dag-dig-dug (heh jatuh duduk)

Ayo-ayo bersihin got

Jangan takut badan blepot

Coba tenang jangan rebut

Jangan pade kalang kabut

Aarrrgh

Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk

Rumeh ane kebakaran gare-gare kompor mleduk

Ane jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet

Rumah ane kebanjiran gara-gara got mampet

Ati-ati kompor meledug

Ati ane jadi dag-dig-dug (heh jatuh duduk)

Ayo-ayo bersihin got

Jangan takut badan blepot

Coba tenang jangan rebut

Jangan pade kalang kabut

Aarrrgh!

Aarrrgh!