Hari Terakhir Johannes Camphuys Jabat Gubernur Jenderal VOC yang Menolak Menghancurkan Masjid dalam Sejarah Hari Ini, 24 September 1691
Potret Gubernur Jenderal VOC, Johannes Camphuys yang menentang penghancuran masjid dan kelenteng di Batavia. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 331 tahun yang lalu, 24 September 1691, Johannes Camphuys menikmati hari terakhirnya sebagai Gubernur Jenderal VOC. Kepemimpinannya tak melulu diisi oleh kemajuan, tapi juga kontroversi. Ia jadi Gubernur Jenderal yang paling susah diatur.

Dewan Gererja dan Dewan Kota dibuat kewalahan. Ia acap kali menolak saran dari kedua lembaga tersebut. Apalagi Campuys secara terang-terangan menolak usul merobohkan kelenteng dan masjid di Batavia. Baginya, toleransi penting untuk eksistensi VOC.

Jikalau bukan anak orang kaya dan berpengaruh butuh usaha keras memperoleh karier gemilang di maskapai dagang Belanda VOC. Semuanya harus dimulai dari bawah. Johannes Camphuys, mengamininya. Pemuda asal Haarlem itu memulai kariernya sebagai pengrajin perak. Ia pun bergabung dengan VOC dari bawah.

Kecakapannya menjadi pegadang VOC mulai diakui. Ia pun terkenal sebagai orang yang peduli dengan ilmu pengetahuan. Petinggi VOC, Heeren Zeventien kepincut dengannya. Camphuys pun diangkat sebagai Gubenur Jenderal VOC mengantikan pendahulunya Si Tukang Adu Domba, Cornelis Speelman pada 11 Januari 1684.

Gambar sket Johannes Camphuys. (Wikimedia Commons)

Boleh jadi kepemimpinan Camphuys tak segarang pendalunya. Namun, ia tetap tak dapat dianggap remeh. Banyak monopoli baru yang dilakukan VOC era Camphuys. Prestasi itu sempat membuat hubungan VOC dan orang China tegang. Sebab, Camphuys mulai mengganggu usaha mereka.

Sisi lainnya, aktivitas Camphuys yang memberikan izin kepada orang China membangun sekolah membuatnya di elu-elukan bak juru selamat dari kebodohan. Kedua kebijakan itu jadi dilema bagi orang China.

“Ia juga mendalami astronomi dan ilmu alam dan mengerti pentingnya membuat salinan naskah ahli botani Rumphius mengenai flora Kepulauan Maluku sebelum naskah itu dikirim ke Eropa (kapal yang membawa naskah aslinya hilang ditenggelamkan orang Prancis).”

“Ia juga menulis sebuah uraian panjang lebar tentang Batavia yang dikumpulkan dalam risalah Valentijn, dan mengirim ke Negeri Belanda mahasiswa ‘pribumi’ pertama, yaitu putra seorang mardijker (budak yang dibebaskan) yang kemudian kembali sebagai pendeta di Ambon,” ungkap Sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Batas-Batas Pembaratan (1996).

Boleh jadi Camphuys tak segarang Speelman, tapi urusan nyali Camphuys berada di atas Speelman. Camphuys jadi salah satu Gubenur Jenderal VOC yang berani menentang perintah atau saran dari Dewan Gereja. Sesuatu tindakan yang tak mungkin dilakukan orang Belanda pada umumnya.

Johannes Camphuys diabadikan sebagai nama jalan di Kota Utrecht, Belanda. (funda.nl)

Institusi agama itu tak dianggap penting baginya. Saran-saran Dewan Gereja bak angin lalu baginya. Apalagi saran merobohkan masjid dan kelenteng. Ia menolak keras hal itu. Ia lebih memilih untuk hidup dalam keberagaman. Toleransi adalah jalan pintas VOC menuju keuntungan yang lebih besar.

“Camphuys acap kali juga mengabaikan usul-usul dari gereja Batavia yang tipis toleransinya agama dan kepercayaan warga setempat. Suatu kali ia malah menolak usul dari wakil Dewan Gereja Batavia yang menganggap terlalu banyak didirikan kelenteng China dan masjid di Batavia, dan karena itu harus dirobohkan.”

“Walaupun sudah sejak tahun 1679 penguasa pusat VOC di Amsterdam yaitu Dewan 17 menyatakan bahwa tidak boleh lagi ada tekanan untuk mendorong penduduk setempat berpindah agama,” terang Sejarawan Mona Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007).

Kiprah Johannes Camphuys menjadi bagian sejarah hari ini, 24 September 1691 di Indonesia.