Aliran Pan-Islamisme dan Pemberontakan Melawan Belanda di Nusantara
Profil ulama pada masa penjajahan Belanda di Nusantara, yang sering dituduh sebagai pemicu pemberontakan lewat paham pan-Islamisme. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 132 tahun yang lalu, 20 September 1890, juragan teh asal Belanda, Karel Frederik Holle bersurat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Cornelis Pijnacker Hordijk. Isi suratnya meminta pemimpin Hindia-Belanda segera melakukan pengawasan ekstra ketat terhadap sekolah agama Islam.

Holle beralasan banyak pemberontakan yang dipelopori oleh ulama dan muridnya. Apalagi kebanyakan ulama dianggapnya membawa semangat gagasan pan-Islamisme dari Makkah. Gagasan yang mengajak umat Islam bersatu melawan kolonialisme.

Ibadah haji adalah aktivitas lumrah yang dilakukan kaum bumiputra sejak dulu kala. Tujuannya jelas. Kaum bumiputra Muslim ingin mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta. Namun, aktivitas itu mulai mengganggu eksistensi Belanda di tanah Nusantara pada 1800-an.

Mereka yang yang pulang dari tanah suci Makkah nyatanya turut membawa paham baru. Pan-Islamisme, namanya. Suatu paham impor yang mengajak seluruh umat Muslim dunia melawan kolonialisme dan imperialisme di muka bumi. Barang siapa yang melanggengkan penjajahan, niscaya akan dilawan dengan sekuat tenaga.

Cornelis Pijnacker Hordijk, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-58. (Wikimedia Commons)

Pemberontakan pun muncul di mana-mana. Ulama-ulama yang notabene baru pulang dari ibadah haji banyak menjadi pelopor pemberontakan. Paham pan-Islamisme disebar ke murid-muridnya. Semuanya bergerak melawan Belanda. Empunya kuasa kewalahan. Merugi pula. Bahkan, karena pemberontakan itu usaha Belanda di negeri koloni tak berjalan mulus.

Utang Belanda jadi menumpuk. Pada pemberontakan Pangeran Diponegoro dan pemberontakan petani Banten pada 1888, misalnya. Belanda pusing bukan main. Karenanya, Pan-Islamisme dianggap sebagai suatu ancaman serius yang memunculkan sikap anti-Belanda.

 “Gagasan pan-Islamisme, apapun itu --gagasan itu adalah hantu yang beredar di mana-mana seperti fundamentalisme Islam di zaman sekarang – tidak boleh dibiarkan menyebar ke Hindia Belanda. Keterkaitan dengan budaya barat adalah tujuan pamungkas koloni.”

“Kebudayaan Islam antitesis terhadap tujuan itu. setiap indikasi bahwa - dalam kehidupan sehari-hari mereka, bukan agama mereka - kaum Muslimin lebih memilih cara-cara Islam atau Timur daripada cara-cara Barat yang dianggap sebagai langkah mundur dalam jalan menuju peradaban dan indikasi dari mentalitas anti-Belanda,” ungkap Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914-1918 (2013).

Paham pan-Islamisme pun berkembang dengan pesat di seantero Nusantara. Sekolah agama atau yang notabene tempat ngaji –masjid, rumah, atau pesantren-- jadi ajang penyebaran paham yang dianggap Belanda sebagai agenda radikal.

Karel Frederik Holle, orang Belanda pengusaha perkebunan teh di Garut yang banyak berperan meredam pemberontakan Islam di tanah Sunda. (Wikimedia Commons)

Pengusaha teh asal Belanda, Holle melihat potensi pemberontakan besar dari menjamurnya sekolah agama. Holle yang notabene penasihat kehormatan urusan bumiputra pemerintah Hindia Belanda pun bersurat pada 20 September 1890. Ia meminta Gubernur Jenderal, Cornelis Pijnacker Hordijk segera melakukan pengawasan ketat terhadap sekolah agama.

“Bercermin dari terjadinya peristiwa (pemberontakan kaum tani) Cilegon tahun 1888, pada 1890, K.F. Holle memberi saran kepada pemerintah agar melakukan pengawasan yang ketat terhadap pendidikan agama Islam. Hal ini terjadi karena pemberontakan para perani di Banten itu dinilai banyak dimotori oleh para haji dan guru agama. Demi penyeragaman dalam pengawasannnya, K. F. Holle juga menyarankan agar para bupati melaporkan daftar guru di daerahnya setiap tahun.”

“Lalu, pada 1904, Snouck Hurgronje juga mengusulkan agar pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid, serta pengawasan oleh bupati hanya dilakukan oleh sebuah panitia. Pada 1905, lahirlah peraturan tentang pendidikan agama Islam yang disebut Ordonansi Guru. Peraturan ini menyatakan bahwa peraturan diberlakukan untuk wilayah Jawa-Madura, termasuk di dalamnya berlaku bagi wilayah Priangan,” terang Ading Kusdiana dalam buku Sejarah Pesantren (2014).