JAKARTA – Sejarah hari ini, 91 tahun yang lalu, 7 Juni 1932, pemerintah kolonial melarang Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) membaca koran milik kaum bumiputra nasionalis. Larangan itu diwartakan salah satunya oleh koran Bintang Timoer.
Sebelumnya, empunya kekuasaan kerap ketakutan dengan segala macam bahan bacaan yang terbit secara bebas di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Belanda menganggap bacaan itu dapat membuat kaum bumiputra memberontak melawan Belanda. Karenanya, upaya pelarangan dilanggengkan.
Penjajahan yang dilanggengkan pemerintah kolonial Hindia Belanda kerap memancing amarah kaum bumiputra. Mereka memeras kaum bumiputra bak sapi perah. Kekayaan alamnya diambil, sedang kaum bumiputra sengaja dibiarkan tanpa tersentuh pendidikan.
Upaya itu dilakukan supaya pemberontakan dan letupan perlawanan tak terjadi di Nusantara. Semua berubah ketika banyak pemuka agama dan ulama yang mulai melanggengkan tradisi naik haji ke Makkah.
Pengalaman di Makkah nyatanya menempa mereka banyak hal. Mereka tak melulu membawa bekal ilmu agama saja sehabis naik haji, tapi juga membawa paham impor Pan Islamisme. Paham itu banyak menyadarkan ulama dan segenap umat Islam bahwa penjajahan harus dilawan.
Paham itu kemudian disebarkan di mana-mana. Dari masjid hingga mulut ke mulut. Pun penyebaran lainnya terkait Pan Islamisme dilanggengkan dalam masifnya penyebaran bahan bacaan. Kitab-kitab Islam, salah satunya.
Isi kitab yang beredar di Hindia Belanda banyak memuat perihal perang jihad melawan penjajahan Belanda. Barang siapa yang membaca, niscaya akan bangkit hasratnya untuk melawan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian kebakaran jenggot.
Penasihat Urusan Bumiputra, Snouck Hurgronje langsung menyarankan pemerintah kolonial untuk melarang dan membatasi penyebaran kitab-kibab berbau Islam pada 1896. Sebab, eksistensi penjajahan akan terganggu jika pemerintah melakukan pembiaran.
“Pertama-tama perlu disebut kitab-kitab pedoman pelajaran agama yang agak tua, dan sedikit banyak klasik, tentang hukum menurut mazhab Syafi'i, berikut tafsir dan penjelasan atas karya-karya ini. Selanjutnya kitab-kitab pelajaran tentang usul atau dogmatik serta mistik semacamnya, tafsir Quran, himpunan hadis, sejarah para sufi, legenda orang-orang keramat, dan kitab-kitab untuk membangun suasana kekhusyukan pada umumnya, serta risalah-risalah yang setiap kali selalu dicetak ulang.”
“Sementara itu biasanya selalu ada ulama-ulama terkemuka di Mekah, Kairo, dan Hindia Belanda yang menyusun karangan atau membuat ikhtisar tentang berbagai bidang tersebut.Di negeri ini tulisan-tulisan demikian itu, berkat nama-nama pengarangnya yang terkenal, umumnya dapat terjual dengan cukup baik, walaupun dari sudut bahan yang disajikan tidak banyak hal baru,” ungkap Snouck Hurgronje dalam buku Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936 Jilid 10 (1994).
Nyatanya ketakutan Belanda terhadap menyebarnya daftar bacaan berbahaya semakin menjadi-jadi pada awal abad ke 20. Empunya kuasa merasakan bahwa pengaruh bahan bacaan dari kaum nasionalis dapat berpotensi melanggengkan pemberontakan di mana-mana.
Bacaan-bacaan itu dapat mengganggu ketertiban umum. Utamanya, kala bacaan itu menjadi konsumsi rutin pada serdadu KNIL yang notabene banyak berasal dari kaum bumiputra. Belanda takut serdadu KNIL balik melawan Belanda.
BACA JUGA:
Alhasil, Belanda kemudian mengeluarkan daftar koran terlarang milik kaum nasionalis. Daftar koran terlarang itu kemudian dimuat dalam koran Bintang Timoer pada 7 Juni 1932.
“Mengenai bacaan, pemerintah kolonial sebisa mungkin membatasi bacaan serdadu kolonial, dimana buku-buku yang ditulis atau berhubungan dengan kaum pergerakan dilarang oleh pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial, seperti yang dimuat dalam Bintang Timoer edisi 7 Juni 1932, telah mengeluarkan daftar bacaan terlarang kepada para anggota militer Hindia Belanda.”
“Beberapa bacaan terlarang itu berupa buku atau surat kabar yang umumnya berbau nasionalis, diantaranya adalah: Porsatoean Indonesia, Simpaj, Sediotomo, Indonesia Moeda, Garoeda, Garoeda Semeroe, Garoeda Merapi, Sinar Djakarta, Darmo Kondo, Soeara Merdeka, Daulat Ra’jat, dan beberapa media lainnya,” terang Petrik Matanasi dalam buku Pribumi Jadi Letnan KNIL (2011).