Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 22 tahun yang lalu, 1 Juni 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memecat Jenderal Surojo Bimantoro dari jabatannya sebagai Kapolri. Pemecatan itu dilakukan karena Bimantoro dianggap Gus Dur tak sejalan dengan narasi kepemimpinannya.

Sebelumnya, langkah politik Gus Dur kerap dianggap kontroversi. Gus Dur berani menggaungkan segala sesuatu yang kerap ditentang banyak pihak. Dari urusan minta maaf kepada simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga normalisasi hubungan perdagangan dengan Israel.

Kepemimpinan Gus Dur kerap membawa dilema. Satu sisi kuasa Gus Dur dapat membawa warna baru bagi dunia politik Nusantara. Sisi lainnya kuasa Gus Dur dianggap kontroversial. Semua itu karena langkah politik Gus Dur yang kerap berseberangan dengan banyak pihak, termasuk jajarannya sendiri di pemerintahan.

Masalah itu terlihat jelas kala Gus Dur mulai meminta maaf kepada simpatisan dan keluarga korban terkait pembantaian PKI 1965-1966. Gus Dur menganggap tak semua orang harus menanggung dosa dari pemberontakan Gerakan 30 September (G30S).

Apalagi mereka yang tak masuk dalam dunia politik PKI. Keputusan itu dilanjutkan Gus Dur dengan menjadi pengusul supaya Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme segera dicabut.

Potret Kapolri Surojo Bimantoro yang berani berseberangan dengan Gus Dur. (museumpolri.org)

Kontroversi Gus Dur tak lantas segera berakhir. Ia pun mulai melihat hubungan Indonesia-Israel yang kerap tegang harus disegarkan. Ia ingin supaya Indonesia mulai membuka diri dengan Israel dan menjalin hubungan dalam bidang perdagangan. Padahal, urusan hubungan dengan Israel sikap Indonesia tak pernah berubah. Indonesia takkan mau membuka hubungan dengan negara yang menjajah Palestina.

“Sembilan bulan jalannya pemerintahan, Presiden Gus Dur justru tampil sebagai sosok yang penuh kontroversi, baik dari segi ucapan maupun dari segi tindakan dirasakan lebih banyak memunculkan rasa bingung di masyarakat.”

“Dari berbagai ucapan yang dilontarkan, misalnya, dalam sebuah kesempatan secara reaktif presiden menuduh tiga orang menterinya terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesempatan lain, ia ingin mengampuni mantan Presiden Soeharto, membuka hubungan dagang Israel, mencopot lima orang anggota kabinetnya, ingin menghapus ketetapan MPRS mengenai pelanggaran ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, dan beberapa ucapan kontroversial lainnya,” tertulis dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).

Serangkaian kontroversi itu berlanjut. Hubungan Gus Dur dan jajarannya kemudian tidak baik-baik saja. Keputusan Gus Dur mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua hingga izin mengibarkan bendera Bintang Kejora, misalnya. Keputusan itu mendapatkan tentangan keras dari Polri.

Tentangan membuat hubungan hubungan Gus Dur dan Polri tak baik-baik saja. Alhasil, hubungan itu mengganggu kuasa Kapolri Bimantoro. Ia mulai dicap tak berpihak kepada pemerintahan. Apalagi, perseteruan itu dilanjutkan dengan perseteruan lainnya.

Gus Dur pun mengambil keputusan. Ia tak ingin mempertahankan Bimantoro sebagai Kapolri. Gus Dur kemudian memecat Bimantoro pada 1 Juni 2001. Bimantoro pun digantikan oleh Wakilnya, Chairuddin Ismail satu hari setelahnya, atau pada 2 Juni 2001.

“Bimantoro yang diangkat oleh Gus Dur pada 18 September 2000 ini resmi dberhentikan oleh Gus Dur pada 1 Juni 2001. Bimantoro tak terima dipecat begitu saja, ia melakukan perlawanan dengan mengumpulkan sejumlah purnawirawan polisi untuk mendukungnya.”

“Sehari pasca-pemecatan, Pengurus Pusat Purnawirawan Kepolisain Negara RI (PP Polri Pusat) menyatakan sikap mendukung sikap Bimantoro yang menolak penggantian dirinya. Sehari berikutya, ia memobilisasi 98 perwira tinggi untuk mengeluarkan pernyataan sikap menolak campur tangan politik dalam internal organisasi Polri,” terang Virdika Rizky Utama dalam buku Menjerat Gus Dur (2020).