Gus Dur-Megawati Tampil Bersama Kembali di Muka Umum dalam Memori Hari Ini, 17 Februari 2002
Presiden Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 21 tahun yang lalu, 17 Februari 2002, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri kembali tampil bersama di muka umum setelah berbulan-bulan berseteru. Keduanya hadir pada perayaan Tahun Baru Imlek di area Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Sebelumnya, Gus Dur dan Megawati dikenal dekat akrab. Semuanya berubah karena Megawati dianggap terlibat pelengseran Gus Dur dari kursi Presiden Indoensia. Hubungan baik pun berubah jadi perseteruan.

Kontroversi kepemimpinan Gus Dur bejibun. Presiden Indonesia itu dikenal bernyali menggelorakan kebijakan berani. Ia menjadi Presiden Indonesia pertama yang meminta maaf atas terjadikan pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) Indonesia pada 1966-1967.

Gus Dur juga mengusulkan bahwa Tap MPRS No. XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme, komunisme, dan leninisme segera dicabut. Usulan pencabutan itu supaya pemerintah tak dianggap berdiri untuk satu kelompok masyarakat saja.

Tren kontroversial itu berlanjut hingga Gus Dur dituduh terlibat dalam skandal Buloggate dan Bruneigate. Puncaknya Presiden Gus Dur ingin mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pembubaran DPR/MPR.

Kedekatan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri semasa menjadi oposisi Orde Baru. (Perpusnas)

Keputusan Gus Dur memancing perdebatan. Alih-alih mendukung, pejabat negara justru menyarankan Gus Dur untuk mengundurkan diri saja dari kursi kepresidenan. Sebab, Gus Dur sudah dianggap melakukan kekacauan politik.

Isu pelengseran Gus Dur merebak ke mana-mana. MPR pun secara resmi mengelengser Gus Dur pada Juli 2001. Pun Ketua MPR, Amien Rais menunjuk Megawati yang awalnya Wakil Presiden sebagai Presiden Indonesia (2001-2004) yang baru.

“Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, sesuai konstitusi, naik menjadi presiden. Namun, Nahdlatul Ulama minta suksesi hanya dilakukan melalui pemilu. Sedangkan posisi RI-2 (wakil presiden), kata Amien, akan ditentukan oleh MPR yang sekaligus menyepakati konsensus nasional itu berlangsung sampai 2004. Konsensus itu penting supaya antar-elite politik tidak saling tabrak sampai 2004-2006.”

“Amien bahkan sudah mewacanakan untuk menaikan Akbar Tandjung sebagai wakil presiden. Jika Presiden Gus Dur mundur atau diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR. Amien Rais berpendapat, duet Megawati-Akbar adalah pilihan ideal menggantikannya,” ungkap Virdika Rizky Utama dalam buku Menjerat Gus Dur (2020).

Naiknya Megawati sebagai Presiden Indonesia menjadi penanda api perseteruan antara dirinya dengan Gus Dur mencuat. Megawati kala itu dianggap terlibat dapat upaya melengserkan Sang Guru Bangsa. Keduanya pun tak pernah berjumpa seperti sedia kala.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wakil Presiden Megawati Berpose bersama jajaran Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001). (Wikimedia Commons)

Ketegangan politis itu akhirnya sedikit tenang pada 17 Februari 2002. Gus Dur-Megawati terlihat menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek di arena PRJ, Kemayoran. Perjumpaan itu menjadi kali pertama Gus Dur-Megawati berjumpa kembali di muka umum setelah berseteru. Sekalipun tak berkomunikasi. Kemudian, hubungan kedua makin baik pada hari-hari selanjutnya.

“Sebetulnya pada perayaan Tahun Baru Imlek di arena Pekan Raya Jakarta hari Minggu 17 Februari 2002, Gus Dur, dan Megawati ikut hadir memenuhi undangan Panitia. Tapi, kedua tokoh ini enggan duduk berdampingan. Gus Dur datang 10 menit sebelum acara dimulai. Ia ditemani Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Alwi Shihab, duduk paling depan di samping kiri podium bersama ribuan umat Konghucu.”

“Beberapa menit kemudian, Ketua MPR, Amien Rais, masuk dan menduduki kursi VIP tepat di sebelah kursi Presiden Megawati. Tak lama kemudian Presiden Megawati, ditemani suaminya Taufik Kiemas dan adiknya, Guruh Soekarnoputra. Gus Dur disediakan kursi di samping Presiden Megawati, namun Gus Dur dikabarkan menolak. Inilah untuk pertama kalinya publik melihat dua tokoh vang berseteru hadir dalam satu upacara resmi, namun sama sekali tidak berkomunikasi,” terang Tjipta Lesmana dalam buku Dari Soekarno sampai SBY (2013).