Bagikan:

JAKARTA - Kehadiran Jepang pernah dianggap sebagai juru selamat. Namun, Jepang membuka boroknya sendiri. Mereka tak lebih baik dari penjajah Belanda. Penjajah Jepang kerap melakukan aksi teror kepada pejuang kemerdekaan yang kontra dengan mereka.

Amir Syarifuddin pernah merasakannya. Pejuang kemerdekaan itu dianggap melanggengkan narasi anti Jepang. Ia dituduh antek Belanda pula. Jepang pun menghukumnya dengan vonis mati yang kemudian berubah menjadi hukuman seumur hidup.

Nafsu Jepang sebagai pembebas Asia tiada dua. Empunya kuasa mampu menunjukkan taring untuk melawan kolonialis yang berdiam lama di Asia. Di Hindia Belanda (kini: Indonesia), apalagi. Negeri Matahari Terbit mampu mengakhiri belenggu kuasa Belanda dari Nusantara.

Keberhasilan itu buat Jepang mengaku sebagai Saudara Tua dari Indonesia. Ajia No Ajia (Asia untuk semua bangsa Asia), katanya. Janji manis pun ditebar. Mereka menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Sebagai bentuk keseriusan, segala hal berbau perjuangan Indonesia (bendera, lagu kebangsaan, dan atribut lainnya) tak dilarang.

Belakangan Belanda justru membuka boroknya sendiri. Bangsa Indonesia diminta untuk menghormati Jepang. Bendera dan lagu Jepang, utamanya. Barang siapa yang tak tunduk, hukum menanti. Dari hukuman penjara sampai hukuman mati.

Amir Syarifuddin dan Sutan Sjahrir dalam sidang KNIP pada 1947. (ANRI/IPPHOS)

Simpati rakyat Indonesia kepada Jepang pun berakhir. Banyak di antara pejuang kemerdekaan memilih jalur gerakan bawah tanah untuk menentang Jepang. Sekalipun beberapa di antaranya memilih untuk berkolaborasi.

Gerakan bawah tanah menganggap Jepang memiliki maksud yang tak baik bagi kaum bumiputra. Mereka justru memeras kaum bumiputra bak sapi perah. Apalagi Jepang kerap melanggengkan kekerasan untuk menjaga kuasanya. Perlawanan terhadap Jepang pun muncul di mana-mana.

“Jepang memang ramah dan banyak janji manis pada satu sisi. Namun, pada sisi lain, terutama di ranah sosial dan keamanan, Jepang bukan main brutalnya. Pelukis legendaris, Dullah menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa garangnya tentara Jepang kepada masyarakat Solo. Dullah dan kawan-kawannya tentulah terkejut. Belum juga urusan Belanda selesai, sekarang kami harus berhadapan dengan Jepang.”

“Di tengah gerutu itu mereka membuat gerakan untuk menolak kesewenang-wenangan Jepang. Poster-poster dibikin dan Dullah melakukan pidato-pidato kecil di sejumlah kampung. Ojo percoyo karo wong Jepang. Ngguya-ngguyu ning tangane nyabetke klewang (Jangan percaya kepada Jepang. Tertawa-tawa tapi tangannya menyabetkan pedang),” ungkap Agus Dermawan T. dalam buku Dongeng Dullah (2020).

Gugurnya Vonis Mati Amir Syarifuddin

Pejuang kemerdekaan yang menolak berkerja sama dengan Jepang tak sedikit. Sosok yang paling menonjol adalah Amir Syarifuddin. Kebenciannya terhadap fasisme Jepang sudah tak terbendung. Ia bahkan rela bekerja sama dengan Belanda sejak Perang Pasifik pecah.

Kerja sama itu dilanggengkan supaya Amir membentuk organisasi perlawanan bawah tanah terhadap Jepang. Belanda menggelontorkan dana cukup besar untuk itu. Amir mendapatkan suntikan dana sebesar 25 ribu gulden untuk menyusun gerakan.

Nyatanya, upaya perlawanan Amir dan kawan-kawan dalam gerakan bawah tanah terendus Jepang. Amir dan 53 orang lainnya ditangkap pada 1943. Jepang yang berang bukan main segera menjatuhkan hukuman mati kepada seluruh anggota gerakan bawah tanah itu. Amir termasuk di dalamnya.

Hukuman itu merupakan hukuman yang lazim pada masa penjajahan Jepang kepada pejuang kemerdekaan yang dianggap memberontak. Pilihan hukuman mati biasanya dengan dua cara. Dipenggal katana atau ditembak parakai nambu (pistol semi otomatis buatan Jepang).

Berita Amir dihukum mati pun menyebar ke mana-mana. Bahkan, berita itu sampai kepada pejuang kemerdekaan yang berkolaborasi dengan Jepang: Soekarno dan Hatta. Dwitunggal itu mengakui pengaruh Amir besar bagi perjuangan, sekalipun bekerja sama dengan Belanda.

Mantan Perdana Menteri RI, Amir Syarifuddin. (IPPHOS)

Soekarno dan Hatta pun bersiasat untuk mengintervensi Jepang supaya tidak menghukum mati Amir. Keduanya bahkan dengan nada sedikit mengancam, tidak akan berkolaborasi dengan Jepang bila Amir dihukum mati.

Jepang pun akhirnya luluh. Mereka tak jadi menghukum mati Amir. Sebagai gantinya, hukuman mati Amir diganti dengan hukuman seumur hidup. Namun, Amir tak menjalankan hukuman itu sampai selesai. Sebab, ia keluar penjara ketika Indonesia merdeka. Boleh jadi nasibnya mujur -- ia pernah jadi Perdana Menteri hingga Menteri Pertahanan Indonesia, tapi tidak dengan kawan-kawannya digerakan bawah tanah yang tetap dihukum mati Jepang.

“Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Syarifuddin, salah seorang pemimpin kami dari gerakan bawah tanah, selama berminggu‐minggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinya ke atas. Dia disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan. Bebaskan dia atau kalau tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya."

“Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguh‐ sungguh diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Syarifuddin ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi. Badannya kurus seperti lidi. Orang tidak dapat percaya, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa,” ungkap Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).