Bagikan:

JAKARTA - Kusni Kasdut pernah terjun mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam perang revolusi. Ia bergerilya melawan Belanda. Namun, jasanya tak dibutuhkan kala Indonesia merdeka secara paripurna. Nasibnya nelangsa, hidup luntang-lantung.

Dunia hitam pun dijajalnya. Ia tak segan-segan merampok, menculik, hingga membunuh untuk menyambung hidup. Ia menjelma menjadi penjahat legendaris sampai kejahatannya diakhiri pemerintah Orde Baru (Orba). Tiada ampun bagi Kusni Kasdut. Ia dihukum mati.

Totalitas pria bernama asli Ignatius Waluyo itu dalam perang revolusi (1945-1949) tiada dua. Dia ikut bergerilya melawan Belanda. Gerakan rakyat dari Front Jawa Timur jadi pilihannya. Ia bertugas sebagai pejuang kemerdekaan dengan sangat baik. Waluyo yang kemudian dikenal sebagai Kusni Kasdut mampu melakukan banyak peran.

Alih-alih hanya menenteng senjata, Kusni Kasdut lihai dalam mencari dana revolusi. Upaya mencari dana itu dilanggengkan Kusni dengan segala cara. Merampok harta orang kaya, utamanya. Langkah itu membuatnya laksana Robin Hood. Konon, semua itu karena Kusni Kasdut kerap membagikan hasil rampokannya kepada kaum miskin kota.

Namun, heroisme Kusni Kasdut harus berakhir pada saat Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949. Kusni Kasdut harus rela menelan pil pahit. Negara mengabaikannya. Ia ditolak masuk militer.

Kusni Kasdut (kiri) ketika ditahan Polisi. (Perpusnas)

Narasi itu membuat kehidupannya makin nelangsa. Tiada keahliannya yang dapat diandalkan untuk mencari uang. Kusni Kasdut pun memilih jalan pintas: terjun ke dunia hitam. Ia melanggengkan tindakan kejahatan dalam tiap aksinya dalam mendapatkan uang. Dari merampok hingga membunuh.

Aksinya yang paling populer adalah membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1953. kemudian, aksi Kusni Kasdut mencuri berlian di Museum Nasional (kadang dikenal juga sebagai Museum Gajah) pada 31 Mei 1961. Aksi itu membuatnya menjadi buronan yang paling dicari di Indonesia.

“Di Kebon Sirih inilah Kusni Kasdut sebelum melakukan perampokan emas di Museum Nasional, pernah membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1953. Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali, anak Cikini.”

“Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan dari Jeep oleh penjahat ini. Peristiwa itu sangat menggemparkan ketika itu karena masalah perampokan dengan membunuh korban belum banyak terjadi seperti sekarang,” tulis Alwi Shahab dalam buku Batavia Kota Banjir (2009).

Hukuman Mati

Pemerintah Orba tak tinggal diam. Kejahatan yang dilakukan Kusni Kasdut dianggap terlampau banyak dan mengerikan. Posisi Orba jelas. Empunya kuasa tak mau kalah dengan penjahat. Kusni Kasdut lalu diuber ke mana-mana.

Kusni Kasdut pun tertangkap tak lama setelah perampokan. Pemerintah pun tak sabar untuk menjatuhkan hukuman. Semua karena kalkulasi hukuman Kusni Kasdut bejibun. Ia harus menanggung hukuman karena membunuh seorang anggota polisi di Semarang, Ali Badjened di Jakarta, perampokan di Museum nasional, dan kejahatan lainnya.

Empunya kuasa pun akhirnya bergerak dengan menjatuhkan vonis mati kepada Kusni Kasdut pada 1969. Kusni Kasdut tak lantas menerima vonis mati begitu saja. Ia terus berupaya menjalankan aksi kabur dari penjara berkali-kali. Ia pun lima kali berhasil (terakhir kabur Oktober 1979) kabur sebelum akhirnya ditangkap kembali. Ajian yang membuatnya berpindah-pindah penjara.

Upaya kabur yang kerap gagal itu membuatnya Kusni Kasdut frustrasi. Ia akhirnya pasrah. Namun, bukan berarti Kusni Kasdut tak dapat melakukan apa-apa. Satu-satunya opsi yang paling masuk akal bagi Kusni kasdut adalah mengajukan grasi kepada Presiden Soeharto pada 1979. Sekalipun berujung kegagalan.

Kusni Kasdut pernah merampok koleksi emas di Museum Nasional pada 31 Mei 1961. (Wikimedia Commons)

Orba menganggap kejahatan yang dilakukan Kusni Kasdut tergolong luar biasa. Kusni Kasdut pun harus meratapi nasibnya menerima eksekusi mati di Gresik, Jawa Timur pada 16 Februari 1980. Pun hukuman itu membuat Si Penjahat Legendaris pergi untuk selama-lamanya.

“Di atas makamnya kelak hanya akan tertulis: Ignatius Waluyo. Nama hitamnya, Kusni Kasdut, telah lama dinyatakannya sendiri habis. Yang hendak ditinggalkan hanyalah nama baptis. Itu adalah semacam simbol dia bukan manusia yang dulu pernah mengumbar kejahatan dengan tidak semena-mena, tapi seorang biasa yang mati dalam iman.”

“Dan ia tidak bergurau, di muka rumah penjara Kalisosok sebelum berangkat ke tempat eksekusi, ketika ia berkata: Semoga dalam perjalanan terakhir saya ini tidak ketemu setan... Haleluya... Haleluya.! Tiga buah peluru tepat mengenai jantungnya dan lima yang lain di sekitar perutnya. Tugas 12 orang dari regu tembak polisi pagi tu, 16 Februari sekitar jam 04.35, selesai sudah: Kusni Kasdut, 52 tahun dinyatakan telah menjalani hukuman ditembak sampai mati,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Perjamuan Terakhir Ignatius Waluyo (1980).